Pencabutan hak asimilasi terhadap ulama Habib Bahar bin Smith dinilai ada campur tangan pengaruh atau intervensi dari penguasa.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Habib Rizieq Shihab (HRS) Center, Abdul Chair Ramadhan. Menurut Abdul, pencabutan asimilasi terhadap Habib Bahar patut dipertanyakan alasannya. Abdul pun menanggapi dua alasan pencabutan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga.
"Terhadap kedua alasan, maka dipandang perlu untuk ditanggapi dengan mendasarkan pada dalil-dalil hukum positif, agar menjadi perhatian," ucap Abdul Chair Ramadhan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (20/5).
Pertama kata Abdul, soal alasan yang menimbulkan keresahan di masyarakat adalah sangat bias. "Keresahan yang bagaimana yang dimaksudkan dalam hukum positif? Hukum pidana tidak ada menjadikan keresahan di masyarakat sebagai unsur delik," jelasnya. Padahal kata Abdul, pemerintah sendiri lah yang kerap membuat resah dan gelisah masyarakat di tengah pandemik Covid-19.
"Sebutlah antara lain, baru-baru ini acara konser musik yang digelar BPIP dan MPR, walaupun tujuannya baik untuk amal korban Covid-19, namun tidak memperhatikan protokol kesehatan. Kondisi demikian, tidak mengindahkan anjuran pemerintah sendiri, jelas suatu ironi," bebernya.
"Terlebih lagi, dilakukan di bulan suci Ramadhan, seharusnya yang dilakukan secara virtual adalah berdoa bermunajat kepada Allah SWT," imbuhnya. Selain itu, lanjutnya, adanya kenaikan iuran BPJS kesehatan yang berlaku surut.
Ditambah lagi, pembukaan kembali bandara bagi orang asing dan pelarangan dibukanya masjid untuk shalat berjamaah. "Sementara mal-mal tetap dibuka juga telah terjadi kerumunan orang, dan lain-lain," sambung Abdul. Terkait isi ceramah Habib Bahar yang dianggap bernada provokatif dan menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian kepada pemerintah.
Menurut Abdul, hal tersebut merupakan tendesius. Bahkan telah terjadi pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah dan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
"Pada dasarnya, ceramah tersebut bersifat kritik. Patut dicatat, tidak ada satu pasal pun dalam hukum positif yang menyebutkan pemerintah sebagai pihak (korban) dengan adanya ujaran kebencian atau permusuhan," pungkasnya. (rmol)
Hal itu disampaikan oleh Direktur Habib Rizieq Shihab (HRS) Center, Abdul Chair Ramadhan. Menurut Abdul, pencabutan asimilasi terhadap Habib Bahar patut dipertanyakan alasannya. Abdul pun menanggapi dua alasan pencabutan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga.
"Terhadap kedua alasan, maka dipandang perlu untuk ditanggapi dengan mendasarkan pada dalil-dalil hukum positif, agar menjadi perhatian," ucap Abdul Chair Ramadhan kepada Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (20/5).
Pertama kata Abdul, soal alasan yang menimbulkan keresahan di masyarakat adalah sangat bias. "Keresahan yang bagaimana yang dimaksudkan dalam hukum positif? Hukum pidana tidak ada menjadikan keresahan di masyarakat sebagai unsur delik," jelasnya. Padahal kata Abdul, pemerintah sendiri lah yang kerap membuat resah dan gelisah masyarakat di tengah pandemik Covid-19.
"Sebutlah antara lain, baru-baru ini acara konser musik yang digelar BPIP dan MPR, walaupun tujuannya baik untuk amal korban Covid-19, namun tidak memperhatikan protokol kesehatan. Kondisi demikian, tidak mengindahkan anjuran pemerintah sendiri, jelas suatu ironi," bebernya.
"Terlebih lagi, dilakukan di bulan suci Ramadhan, seharusnya yang dilakukan secara virtual adalah berdoa bermunajat kepada Allah SWT," imbuhnya. Selain itu, lanjutnya, adanya kenaikan iuran BPJS kesehatan yang berlaku surut.
Ditambah lagi, pembukaan kembali bandara bagi orang asing dan pelarangan dibukanya masjid untuk shalat berjamaah. "Sementara mal-mal tetap dibuka juga telah terjadi kerumunan orang, dan lain-lain," sambung Abdul. Terkait isi ceramah Habib Bahar yang dianggap bernada provokatif dan menyebarkan rasa permusuhan dan kebencian kepada pemerintah.
Menurut Abdul, hal tersebut merupakan tendesius. Bahkan telah terjadi pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah dan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
"Pada dasarnya, ceramah tersebut bersifat kritik. Patut dicatat, tidak ada satu pasal pun dalam hukum positif yang menyebutkan pemerintah sebagai pihak (korban) dengan adanya ujaran kebencian atau permusuhan," pungkasnya. (rmol)