SALAH satu jabatan yang mulia menurut Islam yaitu hakim. Ia mulia karena keberadaannya akan membuat masyarakat tentram dan damai.
Tentu saja untuk mencapai hal tersebut seorang hakim harus mengetahui etika atau adab-adabnya. Karena itu, Islam telah menetapkan persyaratan yang ketat untuk seorang hakim, baik berupa fisik amupun non-fisik.
Di antara syarat dan adab seorang hakim antara lain:
Pertama, hendaknya berkantor di tengah-tengah negeri, di tempat yang diketahui orang dan dapat dijangkau oleh lapisan masyarakat.
Kedua, karena jabatan hakim risikonya tinggi, seseorang tidak boleh berambisi mendapatkannya. Barangsiapa yang berambisi terhadapa jabatan itu, ia tidak akan mendapat taufik dari Allah Subhanahu Wata’ala. Demikian juga Allah akan mencabut keberkahan dari akal dan hatinya.
Rasulullah ﷺ bersabda;
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- “مَنْ جُعِلَ قَاضِياً بَيْنَ النَّاسِ فَقَدْ ذُبِحَ بِغَيْرِ سِكِّينٍ”
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasûlullâh ﷺ bersabda, “Barangsiapa dijadikan hakim di antara manusia, maka sesungguhnya dia disembelih tanpa menggunakan pisau.” (HR. Ahmad, no. 7145; Abu Daud, no. 3572; Tirmizi, no. 1325; Ibnu Majah, no. 2308.
Ketiga, memahami hukum Islam dengan baik. Ini didasarkan pada firman Allah:
وَاَنِ احۡكُمۡ بَيۡنَهُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ
”Hendaklah engkau menghukum antara mereka menurut pengaturan yang diturunkan Allah.” (Al-Maidah [5]: 49).
Orang Islam yang fasiq masih diperselisihkan oleh para ulama tentang kebolehannya menjadi hakim. Namun, yang lebih utama dalam mengatasi polemik yang terjadi ditetapkan persyaratan lain, yaitu seorang hakim harus bertindak dan memiliki sifat adil, meskipun terhadap dirinya sendiri.
Keempat, memiliki panca indera yang normal, baik pendengaran dan penglihatan. Seseorang yang rusak penglihatan dan pendengarannya tidak akan dapat menjalankan fungsi dan kompetensinya sebagai hakim.
Mata dan telinga merupakan alat yang vital bagi hakim untuk melihat, mengamati, dan mendengar berbagai alat bukti dan peristiwa yang terjadi selama persidangan. Persyaratan-persyaratan di atas diperlukan guna terselenggaranya peradilan yang berwibawa, objektif, dan berorientasi kepada tegaknya supermasi hukum, sehingga akan melahirkan kepastian hukum dalam syariat Islam.
Kelima, harus memperhatikan dan meneliti setiap kasus. Keputusan yang tergesa-gesa bisa mengakibatkan kekeliruan. Jika ini terjadi berarti ia telah menghilangkan hak seseorang dan memberikannya kepada orang yang tidak berhak mendapatkannya.
Keenam, seorang hakim tidak boleh memutuskan perkara dalam keadaan sedang marah.
Dalam hadis riwayat Imam Bukhari lainnya, Rasulullah ﷺ bersabda:
لا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بيْنَ اثْنَيْنِ وهو غَضْبَانُ
“Seorang hakim dilarang memutuskan (perkara putusan) antara dua orang ketika marah.”
Ketuju, tidak segan dengan orang yang bersengketa, melainkan tetap harus bersikap adil. Hakim tidak boleh menerima pemberian dari orang yang sedang berperkara, yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang ditangani.
Kedelapan, tidak memberikan keputusan sebelum mendengar laporan dari kedua belah pihak. Sebuah keputusan yang hanya berdasar pada satu pihak merupakan tindak kejahatan dalam pengadilan.
Rasulullah ﷺ bersabda;
ﻭَ ﻋَﻦْ ﻋَﻠِﻲٍّ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟَّﻠﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻗَﻞَ : ﻗَﻞَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ : ﺇِﺫَﺍ ﺗَﻘَﺎﺿَﻰ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﺭَﺟُﻼَﻥِ ﻓَﻼَ ﺗَﻘْﺾِ ﻟِﻸَﻭَّﻝِ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺴْﻤَﻊ ﻛَﻼَﻡَ ﺍﻵﺧَﺮِ , ﻓَﺴَﻮْﻑَ ﺗَﺪْﺭِﻱ ﻛَﻴْﻒَ ﺗَﻘْﻀِﻲ . ﻗَﺎﻝَ ﻋَﻠِﻲٌّ: ﻓَﻤَﺎ ﺯِﻟْﺖُ ﻗَﺎﺿِﻴًﺎ ﺑَﻌْﺪُ . ( ﺭَﻭَﺍﻩُ ﺃَﺣْﻤَﺪُ , ﻭَ ﺃَﺑُﻮ ﺩَﺍﻭُﺩَ , ﻭَﺍﻟﺘِّﺮْﻣِﺬِﻱُّ ﻭَ ﺣَﺴَّﻨَﻪُ , ﻭّ ﻗّﻮَّﺍﻩُ ﺍﺑْﻦُ ﺍَﻟْﻤَﺪِﻳﻨِﻲُّ , ﻭَﺻَﺤَّﺤَﻪُ ﺍﺑْﻦُ ﺣِﺒَّﺎﻥَ .
“Dan dari Ali Radhiyallahu Anhu berkata,” Rasulullah ﷺ bersabda,”Jika kamu sedang mengadili dua orang yang sedang bersengketa maka janganlah kamu beri keputusan kepada pihak pertama hingga kamu mendengar laporan dari pihak kedua, dengan demikian kamu akan mengetahui bagaimana cara mengambil keputusan. “Ali Radhiyallahu Anhu berkata,” Setelah itu aku tetap menjabat sebagai hakim.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi).
Demikian kedudukan seorang hakim. Begitu pentingnya, kedudukan jabatan ini, sehingga Rasulullah ﷺ mengatakan ada dua golongan hakim; satu di Surga, dua lainnya di Neraka.
ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺇِﺳْﻤَﻌِﻴﻞُ ﺑْﻦُ ﺗَﻮْﺑَﺔَ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺧَﻠَﻒُ ﺑْﻦُ ﺧَﻠِﻴﻔَﺔَ ﺣَﺪَّﺛَﻨَﺎ ﺃَﺑُﻮ ﻫَﺎﺷِﻢٍ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻮْﻟَﺎ ﺣَﺪِﻳﺚُ ﺍﺑْﻦِ ﺑُﺮَﻳْﺪَﺓَ ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻴﻪِ ﻋَﻦْ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻘُﻀَﺎﺓُ ﺛَﻠَﺎﺛَﺔٌ ﺍﺛْﻨَﺎﻥِ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻭَﻭَﺍﺣِﺪٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺭَﺟُﻞٌ ﻋَﻠِﻢَ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﻓَﻘَﻀَﻰ ﺑِﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﻗَﻀَﻰ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻋَﻠَﻰ ﺟَﻬْﻞٍ ﻓَﻬُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻭَﺭَﺟُﻞٌ ﺟَﺎﺭَ
ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢِ ﻓَﻬُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻟَﻘُﻠْﻨَﺎ ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻘَﺎﺿِﻲَ ﺇِﺫَﺍ ﺍﺟْﺘَﻬَﺪَ ﻓَﻬُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
“Hakim itu ada tiga golongan, dua di Neraka & satu di Surga; hakim yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara tersebut dengan ilmunya, maka ia berada di Surga. Hakim yg memberi putusan kepada manusia atas dasar kebodohan, maka ia di neraka. Dan hakim yang berlaku curang saat memberi putusan maka ia di neraka, niscaya kami akan mengatakan, ‘Sesungguhnya seorang hakim apabila berijtihad dia akan berada di dalam Surga.” [HR. Ibnu Majah No.2306].
Demikianlah beberapa syarat dan adab-adab hakim. Semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya. (H)