Sebagaimana dilansir Pikiran Rakyat berikut ini, umat Islam masih mayoritas di Indonesia, kondisinya memprihatinkan, terutama dalam hal kemampuan membaca Alquran. Dari sekitar 225 juta Muslim, sebanyak 54% di antaranya termasuk kategori buta huruf Alquran. Oleh karena itu, gerakan pemberantasan buta huruf Alquran perlu digalakkan.
Hal itu terungkap dalam Seminar Gerakan Melek Huruf Alquran yang berlangsung di Aula Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bandung, Rabu 13 Desember 2017. Kegiatan itu terselenggara atas kerja sama Bappeda Kabupaten Bandung dengan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.
Seminar diikuti oleh anggota ormas-ormas Islam, guru, serta perwakilan SMP, SMA, dan SMK di Kabupaten Bandung. Sementara, pemateri yang dihadirkan adalah Ketua Pusat Kerja Sama dan Kewirausahaan UIN Sunan Gunung Djati Tajul Arifin dan Kepala Pusat Rumah Alquran UIN Sunan Gunung Djati Asep Mustofa Kamal.
Tajul Arifin mengungkapkan, berdasarkan data secara nasional yang dihimpun UIN Sunan Gunung Djati, pada tahun 2015, sedikitnya 54% Muslim Indonesia terkategori buta huruf Alquran. ”Jadi, baru 46% Muslim yang melek Alquran dan mampu membaca Alquran. Kalau dimasukkan indikator bisa memahami isi Alquran, tentu jauh lebih kecil lagi,” katanya.
Ia mengatakan, 46% Muslim itu terkategori bisa membaca Alquran beserta ilmu tajwid. ”Bisa jadi, ketika TK sampai SD sudah bisa membaca Alquran karena memang diajarkan. Namun, memasuki SMP sampai dewasa tidak dipakai lagi sehingga lupa terhadap huruf Alquran,” tuturnya.
Rasa Gengsi
Tajul mengatakan, Gerakan Magrib Mengaji dan kewajiban bersekolah di madrasah diniah takmiliah baru menyasar murid-murid SD. Sementara, kalangan remaja dan pemuda belum banyak tersentuh.
”Ada perasaan enggan atau gengsi ketika remaja atau pemuda memulai belajar membaca huruf hijaiah. Demikian pula dengan bapak-bapak yang juga gengsi sehingga namanya majelis taklim hampir 100% diikuti oleh kaum ibu,” ucapnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pemerintah Indonesia -- bisa dimulai dari Pemkab Bandung-- mencanangkan Gerakan Pemberantasan Buta Huruf Alquran. ”Tentu bukan sekadar seremoni, melainkan harus ada usaha sungguh-sungguh dan terstruktur dengan dukungan anggaran pemerintah. Dengan demikian, semua lapisan warga yang buta huruf Alquran bisa mengikuti gerakan ini,” tuturnya.
Menurut dia, dunia digital juga bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan gerakan tersebut. Alhasil, gawai tidak lagi menjadi sekadar untuk hiburan. ”Orangtua juga harus mencontohkan dan membiasakan anak-anaknya untuk belajar huruf Alquran ini,” katanya.
Hal itu terungkap dalam Seminar Gerakan Melek Huruf Alquran yang berlangsung di Aula Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bandung, Rabu 13 Desember 2017. Kegiatan itu terselenggara atas kerja sama Bappeda Kabupaten Bandung dengan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.
Seminar diikuti oleh anggota ormas-ormas Islam, guru, serta perwakilan SMP, SMA, dan SMK di Kabupaten Bandung. Sementara, pemateri yang dihadirkan adalah Ketua Pusat Kerja Sama dan Kewirausahaan UIN Sunan Gunung Djati Tajul Arifin dan Kepala Pusat Rumah Alquran UIN Sunan Gunung Djati Asep Mustofa Kamal.
Tajul Arifin mengungkapkan, berdasarkan data secara nasional yang dihimpun UIN Sunan Gunung Djati, pada tahun 2015, sedikitnya 54% Muslim Indonesia terkategori buta huruf Alquran. ”Jadi, baru 46% Muslim yang melek Alquran dan mampu membaca Alquran. Kalau dimasukkan indikator bisa memahami isi Alquran, tentu jauh lebih kecil lagi,” katanya.
Ia mengatakan, 46% Muslim itu terkategori bisa membaca Alquran beserta ilmu tajwid. ”Bisa jadi, ketika TK sampai SD sudah bisa membaca Alquran karena memang diajarkan. Namun, memasuki SMP sampai dewasa tidak dipakai lagi sehingga lupa terhadap huruf Alquran,” tuturnya.
Rasa Gengsi
Tajul mengatakan, Gerakan Magrib Mengaji dan kewajiban bersekolah di madrasah diniah takmiliah baru menyasar murid-murid SD. Sementara, kalangan remaja dan pemuda belum banyak tersentuh.
”Ada perasaan enggan atau gengsi ketika remaja atau pemuda memulai belajar membaca huruf hijaiah. Demikian pula dengan bapak-bapak yang juga gengsi sehingga namanya majelis taklim hampir 100% diikuti oleh kaum ibu,” ucapnya.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pemerintah Indonesia -- bisa dimulai dari Pemkab Bandung-- mencanangkan Gerakan Pemberantasan Buta Huruf Alquran. ”Tentu bukan sekadar seremoni, melainkan harus ada usaha sungguh-sungguh dan terstruktur dengan dukungan anggaran pemerintah. Dengan demikian, semua lapisan warga yang buta huruf Alquran bisa mengikuti gerakan ini,” tuturnya.
Menurut dia, dunia digital juga bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan gerakan tersebut. Alhasil, gawai tidak lagi menjadi sekadar untuk hiburan. ”Orangtua juga harus mencontohkan dan membiasakan anak-anaknya untuk belajar huruf Alquran ini,” katanya.