Setelah tuntas menuntut ilmu di Mesir, Abdul Kahar Muzakkir kembali ke Tanah Air. Awalnya, dia bekerja sebagai pengajar dan kemudian direktur pada madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Dia juga berkiprah dalam organisasi yang dirintis KH Ahmad Dahlan tersebut, antara lain, sebagai pemimpin sayap kepemudaan dan badan kesejahteraan sosial.
Sampai akhir hayatnya, sosok pejuang bangsa ini masuk ke dalam struktur pimpinan pusat Muhammadiyah.
Ikut Merumuskan Pancasila
Sebelum masa pendudukan Jepang, KH Abdul Kahar Muzakkir aktif dalam pelbagai organisasi partai politik, yakni Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pecahannya, Partai Islam Indonesia (PII).
Dalam kongres PII pada 1940, dia duduk sebagai unsur pimpinan pusat organisasi ini. Setelah Jepang menduduki Indonesia, keadaan politik berubah sama sekali. PII dan beberapa partai lainnya dibubarkan.
Hingga tahun 1943, Abdul Kahar Muzakkir bekerja di lingkungan Keraton Yogyakarta. Pada zaman Jepang, dia sempat menjadi komentator berita siaran-siaran radio berbahasa Inggris dan Arab di Jakarta. Satu tahun kemudian, tugasnya berubah menjadi bagian dari Kantor Urusan Agama (Shumubu) yang didirikan Jepang.
Salah seorang seniornya adalah tokoh Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahid Hasyim.
Pemerintah pendudukan Jepang membentuk Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada April 1945. Hal itu terjadi selang beberapa waktu setelah Kaisar Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.
Dalam organisasi ini, KH Abdul Kahar Muzakkir menjadi anggota dewan penasihat pusat. Bersama dengan tokoh Muhammadiyah lainnya, KH Mas Mansur, berpendapat bahwa BPUPKI perlu steril dari campur tangan Jepang. Pernyataan ini dihubungkan pula dengan gejolak resistensi kalangan umat Islam di daerah-daerah yang membenci dominasi Jepang atas mereka.
Sidang perdana BPUPKI berlangsung pada 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam forum ini mulai jelas perbedaan pandangan antara kubu nasionalis Islam dan nasionalis sekular. Total anggota BPUPKI adalah 68 orang.
Dari jumlah tersebut, hanya belasan orang yang dapat dianggap mewakili suara nasionalis Islam. Wakil golongan ini antara lain KH Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah; KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Masykur dari Nahdlatul Ulama; Sukiman Wirjosandjojo dari PII; Abikusno Tjokrosujoso dari PSII; Haji Agus Salim dari Pergerakan Penyadar; serta KH Ahmad Sanusi dan KH Abdul Halim dari Persatuan Umat Islam.
Pelbagai perdebatan mewarnai sidang-sidang BPUPKI. Barulah ketika membahas tentang dasar negara, situasi mulai agak rumit karena tiap kubu memiliki pandangan yang cenderung berbeda.
Untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang bertugas menggodok kompromi tentang dasar negara Indonesia merdeka. Panitia ini terdiri atas nama-nama dari dua kubu nasionalis Islam dan nasionalis sekular.
Mereka adalah Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, AA Maramis, Ahmad Subardjo, Haji Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, KH Abdul Wahid Hasyim, dan KH Abdul Kahar Muzakkir.
Kubu nasionalis Islam menghendaki dasar negara berasal dari ajaran Islam. Adapun kubu nasionalis sekular menginginkan Indonesa nantinya memisahkan persoalan agama dari negara karena agama dianggap sebagai urusan privasi setiap individu.
Pada akhirnya, suatu kompromi tercapai di antara kedua kubu itu dalam wujud Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Kemudian, teks dokumen itu menjadi mukadimah konstitusi yang diajukan BPUPKI pada 11 Juli 1945. Sayangnya, satu hari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kesepakatan ini tergoyahkan.
Perubahan ada pada kata-kata “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sehingga menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
KH Abdul Kahar Muzakkir termasuk ke dalam kalangan yang kecewa atas adanya perubahan tersebut. Hal itu disampaikannya melalui partainya, Masyumi, dalam sidang-sidang di Konstituante. [Republika.co.id]
Sampai akhir hayatnya, sosok pejuang bangsa ini masuk ke dalam struktur pimpinan pusat Muhammadiyah.
Ikut Merumuskan Pancasila
Sebelum masa pendudukan Jepang, KH Abdul Kahar Muzakkir aktif dalam pelbagai organisasi partai politik, yakni Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan pecahannya, Partai Islam Indonesia (PII).
Dalam kongres PII pada 1940, dia duduk sebagai unsur pimpinan pusat organisasi ini. Setelah Jepang menduduki Indonesia, keadaan politik berubah sama sekali. PII dan beberapa partai lainnya dibubarkan.
Hingga tahun 1943, Abdul Kahar Muzakkir bekerja di lingkungan Keraton Yogyakarta. Pada zaman Jepang, dia sempat menjadi komentator berita siaran-siaran radio berbahasa Inggris dan Arab di Jakarta. Satu tahun kemudian, tugasnya berubah menjadi bagian dari Kantor Urusan Agama (Shumubu) yang didirikan Jepang.
Salah seorang seniornya adalah tokoh Nahdlatul Ulama, KH Abdul Wahid Hasyim.
Pemerintah pendudukan Jepang membentuk Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada April 1945. Hal itu terjadi selang beberapa waktu setelah Kaisar Jepang menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia.
Dalam organisasi ini, KH Abdul Kahar Muzakkir menjadi anggota dewan penasihat pusat. Bersama dengan tokoh Muhammadiyah lainnya, KH Mas Mansur, berpendapat bahwa BPUPKI perlu steril dari campur tangan Jepang. Pernyataan ini dihubungkan pula dengan gejolak resistensi kalangan umat Islam di daerah-daerah yang membenci dominasi Jepang atas mereka.
Sidang perdana BPUPKI berlangsung pada 29 Mei-1 Juni 1945. Dalam forum ini mulai jelas perbedaan pandangan antara kubu nasionalis Islam dan nasionalis sekular. Total anggota BPUPKI adalah 68 orang.
Dari jumlah tersebut, hanya belasan orang yang dapat dianggap mewakili suara nasionalis Islam. Wakil golongan ini antara lain KH Abdul Kahar Muzakkir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH Mas Mansur dari Muhammadiyah; KH Abdul Wahid Hasyim dan KH Masykur dari Nahdlatul Ulama; Sukiman Wirjosandjojo dari PII; Abikusno Tjokrosujoso dari PSII; Haji Agus Salim dari Pergerakan Penyadar; serta KH Ahmad Sanusi dan KH Abdul Halim dari Persatuan Umat Islam.
Pelbagai perdebatan mewarnai sidang-sidang BPUPKI. Barulah ketika membahas tentang dasar negara, situasi mulai agak rumit karena tiap kubu memiliki pandangan yang cenderung berbeda.
Untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada, BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang bertugas menggodok kompromi tentang dasar negara Indonesia merdeka. Panitia ini terdiri atas nama-nama dari dua kubu nasionalis Islam dan nasionalis sekular.
Mereka adalah Sukarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, AA Maramis, Ahmad Subardjo, Haji Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, KH Abdul Wahid Hasyim, dan KH Abdul Kahar Muzakkir.
Kubu nasionalis Islam menghendaki dasar negara berasal dari ajaran Islam. Adapun kubu nasionalis sekular menginginkan Indonesa nantinya memisahkan persoalan agama dari negara karena agama dianggap sebagai urusan privasi setiap individu.
Pada akhirnya, suatu kompromi tercapai di antara kedua kubu itu dalam wujud Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Kemudian, teks dokumen itu menjadi mukadimah konstitusi yang diajukan BPUPKI pada 11 Juli 1945. Sayangnya, satu hari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, kesepakatan ini tergoyahkan.
Perubahan ada pada kata-kata “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sehingga menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
KH Abdul Kahar Muzakkir termasuk ke dalam kalangan yang kecewa atas adanya perubahan tersebut. Hal itu disampaikannya melalui partainya, Masyumi, dalam sidang-sidang di Konstituante. [Republika.co.id]