Sesungguhnya Kitab suci Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab. Sebagian orang menduga bahwa diturunkannya wahyu Ilahi ini ke dalam bahasa Arab, boleh jadi disebabkan turunnya kepada bangsa Arab di negeri Arab, oleh karena itu Al-Qur'an berbahasa Arab.
Barangkali dugaan yang sama pula, sekiranya turunnya di Persia, maka Al-Qur'an berbahasa Persia atau jika turunnya di Eropa maka hal yang sama Al-Qur'an berbahasa Eropa. Boleh jadi, Al-Qur'an turun di Asia atau Indonesia akan berbahasa Melayu yang kita pahami hari ini. Jika demikian, pemahaman kebanyakan orang seperti itu, tentu keliru.
Ada alasan lain yang mendasari mengapa Allah Ta'ala memilih dan menentukan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur'an. Bukan sekadar masyarakat penerima pertama wahyu tersebut merupakan bangsa Arab, akan tetapi lebih jauh dari itu, disebabkan kelebihan serta keistimewaan bahasa Arab yang tidak dimiliki bahasa lain di dunia.
Bahasa Arab dipilih sebagai bahasa Al-Qur'an, faktor utamanya karena ia memiliki kemampuan menampung makna dan pesan wahyu Ilahiyyah yang sangat luas dan kaya dan ini tidak dimiliki bahasa lainnya di dunia. Hal ini bisa terlihat dari kekayaan kosakata yang dimilikinya.
Menurut pandangan Utsman Ibnu Jinni (932-1002 M), kosakata bahasa Arab pada umumnya mempunyai dasar tiga huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk yang setiap perubahan bentuknya masih dapat menghasilkan berbagai makna dari akar kata yang sama.
Misalnya, kata qâala (قال) artinya berkata yang terambil dari huruf qaf, wauw dan lam. Dari kata qa-wauw- lam itu semuanya dapat dibentuk menjadi tiga bentuk yang masing-masing bentuk memiliki makna yang berbeda-beda. Betapa pun ada huruf yang didahulukan atau di belakangkan, kesemuanya mengandung makna dasar yang menghimpunnya.
Kata Qaala (قال) yang berarti berkata mengisyaratkan gerakan yang mudah dari mulut ke lidah. Karena itu, huruf pertama yang digunakan haruslah bergerak, bukankah upaya untuk berkata dalam arti menggerakkan mulut dan lidah.
Jika komposisi huruf-huruf itu dibolak-balikkan menjadi wa-qa-la (وقل) maka akan menghasilkan makna lain, yaitu mengangkat kaki dengan memantapkan kaki sebelahnya sebagai tumpuan untuk menjaga keseimbangan tubuh. Hal ini pun maknanya merujuk pada adanya gerak atau gerakan.
Pun demikian, jika posisi kata lainnya diubah menjadi "la-qi-ya" (لقي) yang artinya bergerak menuju sesuatu untuk bertemu atau berjumpa. (Baca Juga: 50 Istilah Arab yang Populer di Masyarakat Berikut Artinya)
Kekayaan Bahasa Arab
Keunikan lainnya, bahasa Arab memiliki mutaradif atau sinonim yang sangat kaya dan tidak ditemukan pada bahasa manapun di dunia. Para pakar bahasa Arab menyebutkan diperkirakan ada sekitar 25 juta kosakata dalam bahasa Arab.
Menurut Fairuzzabadi, pengarang Qamus al-Muhith (729-817 H), untuk menyebut nama pedang saja, bahasa Arab mampu menyebutkan sebanyak 1.000 kosakata, singa ada 500 kosakata, ular 200 kosakata, madu 80 kosakata.
Menurut De' Hemmaer terdapat 5.644 kosakata untuk menyebut aneka nama unta dan jenis keadaannya. Demikian hal yang sama disebutkan oleh Ali Abdul Wahid Wafi (1901-1991 M) dalam bukunya Fiqh Lughah.
Dengan kekayaan demikian luasnya, maka bahasa Arab mampu menampung dan menyerap esensi serta pesan yang dikandung dalam wahyu Ilahi yang diturunkan kepada seluruh generasi manusia melampaui ruang, dimensi waktu serta rentang jarak antar geografis dan akan tetap relevan sepanjang masa.
Sistem tata bahasa Arab yang dikenal dengan Ilmu Nahwu dan Sharaf merupakan tata bahasa yang paling kompherehensif dan detail dalam menyingkapkan setiap posisi kalimat 'irab yang kesemuanya sangat menentukan makna kalimatnya (dilalat al-ma’na).
Misalnya, kalimat مَا أَحسَنُ السَّمَاء jika kata as-samaa’ (السَّمَاءُ) dibaca dhammah secara rafa’, maka bentuknya adalah pertanyaan, "Apakah yang terindah di langit?". Masih dalam bentuk redaksi kalimat yang sama, jika kata as-samaa’ (السَّمَاءِ) dibaca kasrah, maka bentuknya berubah menjadi pernyataan untuk menunjukkan ketakjuban, "Betapa indahnya langit!".
Perbedaannya hanya terletak pada harakat atau baris pada kata as-samaa'. Demikian detailnya bahasa Arab yang memang layaknya mampu dijadikan sebagai bahasa wahyu bagi kitab suci terakhir, Al-Qur’an Al-Kariem. Bukan tanpa alasan, jika kemudian ada kekeliruan pada pembacaan, pengucapan atau pelafalannya akan berkonsekuensi pada perubahan maknanya.
Contoh lainnya, tampak terlihat pada ketelitian dalam pemilihan diksi katanya. Pada surah al-‘Raf ayat 172, Allah Swt berfirman:
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
"Bukankah Aku Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘balaa.. ya"
Menurut sahabat Nabi, Ibnu Abbas, jika kata "balaa" (بَلَى) pada ayat ini ditukar dengan "Na’am" (نَعَم), maka yang menjawab seperti itu akan berpotensi kafir, karena "na’am" digunakan sebagai jawaban untuk membenarkan satu pertanyaan, baik pertanyaan itu dengan redaksi positif maupun negatif.
"Bukankah Aku Tuhan kamu?" bila dijawab dengan 'Na’am', maka ini berarti membenarkan redaksi yang bersifat negasi itu, sehingga jawaban ini berarti: "Benar Engkau bukan Tuhanku." Demikian dinukil oleh Zarkasyi dalam kitabnya "al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an".
Akan tetapi, karena jawaban pada ayat itu adalah "Balaa" (بَلَى) yang digunakan untuk mengiyakan dalam bentuk yang positif, walaupun redaksinya dalam bentuk negasi, maka pembenaran tersebut adalah mengiyakan pertanyaan itu setelah sebelumnya membuang bentuk negasinya.
Redaksi negasi dalam redaksi ayat tersebut adalah "Bukankah", ini yang ditiadakan, sehingga seakan-akan bunyi ayatnya, "Aku Tuhanmu" dan jawabannya adalah 'Ya' (Engkaulah Tuhan kami).
Demikian kemahaluasan bahasa Arab yang menjadikannya layak dan patut terpilih sebagai bahasa yang mampu menampung wahyu Ilahiyyah yang tak akan mengalami perubahan, baik semenjak 14 abad lalu hingga akan tetap relevan sampai akhir zaman.
Maka, pesan essensial dalam setiap peringatan Nuzul Qur'an adalah haruslah adanya semangat bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari bahasa Arab dalam rangka mempelajari serta memahami kitab suci Al-Qur'an Al-Karim.
Tanpa pendekatan bahasa Arab, mustahil Al-Qur'an benar-benar mampu dipahami sebagaimana mestinya dia diturunkan sebagai petunjuk serta cahaya bagi orang yang mengikuti petunjuk cahaya tersebut. (Baca Juga: Inilah Kelebihan Bahasa Arab Dibanding Bahasa Lainnya di Dunia)
Wallahu A'lam
(Dr Miftah)
Barangkali dugaan yang sama pula, sekiranya turunnya di Persia, maka Al-Qur'an berbahasa Persia atau jika turunnya di Eropa maka hal yang sama Al-Qur'an berbahasa Eropa. Boleh jadi, Al-Qur'an turun di Asia atau Indonesia akan berbahasa Melayu yang kita pahami hari ini. Jika demikian, pemahaman kebanyakan orang seperti itu, tentu keliru.
Ada alasan lain yang mendasari mengapa Allah Ta'ala memilih dan menentukan bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur'an. Bukan sekadar masyarakat penerima pertama wahyu tersebut merupakan bangsa Arab, akan tetapi lebih jauh dari itu, disebabkan kelebihan serta keistimewaan bahasa Arab yang tidak dimiliki bahasa lain di dunia.
Bahasa Arab dipilih sebagai bahasa Al-Qur'an, faktor utamanya karena ia memiliki kemampuan menampung makna dan pesan wahyu Ilahiyyah yang sangat luas dan kaya dan ini tidak dimiliki bahasa lainnya di dunia. Hal ini bisa terlihat dari kekayaan kosakata yang dimilikinya.
Menurut pandangan Utsman Ibnu Jinni (932-1002 M), kosakata bahasa Arab pada umumnya mempunyai dasar tiga huruf mati yang dapat dibentuk dengan berbagai bentuk yang setiap perubahan bentuknya masih dapat menghasilkan berbagai makna dari akar kata yang sama.
Misalnya, kata qâala (قال) artinya berkata yang terambil dari huruf qaf, wauw dan lam. Dari kata qa-wauw- lam itu semuanya dapat dibentuk menjadi tiga bentuk yang masing-masing bentuk memiliki makna yang berbeda-beda. Betapa pun ada huruf yang didahulukan atau di belakangkan, kesemuanya mengandung makna dasar yang menghimpunnya.
Kata Qaala (قال) yang berarti berkata mengisyaratkan gerakan yang mudah dari mulut ke lidah. Karena itu, huruf pertama yang digunakan haruslah bergerak, bukankah upaya untuk berkata dalam arti menggerakkan mulut dan lidah.
Jika komposisi huruf-huruf itu dibolak-balikkan menjadi wa-qa-la (وقل) maka akan menghasilkan makna lain, yaitu mengangkat kaki dengan memantapkan kaki sebelahnya sebagai tumpuan untuk menjaga keseimbangan tubuh. Hal ini pun maknanya merujuk pada adanya gerak atau gerakan.
Pun demikian, jika posisi kata lainnya diubah menjadi "la-qi-ya" (لقي) yang artinya bergerak menuju sesuatu untuk bertemu atau berjumpa. (Baca Juga: 50 Istilah Arab yang Populer di Masyarakat Berikut Artinya)
Kekayaan Bahasa Arab
Keunikan lainnya, bahasa Arab memiliki mutaradif atau sinonim yang sangat kaya dan tidak ditemukan pada bahasa manapun di dunia. Para pakar bahasa Arab menyebutkan diperkirakan ada sekitar 25 juta kosakata dalam bahasa Arab.
Menurut Fairuzzabadi, pengarang Qamus al-Muhith (729-817 H), untuk menyebut nama pedang saja, bahasa Arab mampu menyebutkan sebanyak 1.000 kosakata, singa ada 500 kosakata, ular 200 kosakata, madu 80 kosakata.
Menurut De' Hemmaer terdapat 5.644 kosakata untuk menyebut aneka nama unta dan jenis keadaannya. Demikian hal yang sama disebutkan oleh Ali Abdul Wahid Wafi (1901-1991 M) dalam bukunya Fiqh Lughah.
Dengan kekayaan demikian luasnya, maka bahasa Arab mampu menampung dan menyerap esensi serta pesan yang dikandung dalam wahyu Ilahi yang diturunkan kepada seluruh generasi manusia melampaui ruang, dimensi waktu serta rentang jarak antar geografis dan akan tetap relevan sepanjang masa.
Sistem tata bahasa Arab yang dikenal dengan Ilmu Nahwu dan Sharaf merupakan tata bahasa yang paling kompherehensif dan detail dalam menyingkapkan setiap posisi kalimat 'irab yang kesemuanya sangat menentukan makna kalimatnya (dilalat al-ma’na).
Misalnya, kalimat مَا أَحسَنُ السَّمَاء jika kata as-samaa’ (السَّمَاءُ) dibaca dhammah secara rafa’, maka bentuknya adalah pertanyaan, "Apakah yang terindah di langit?". Masih dalam bentuk redaksi kalimat yang sama, jika kata as-samaa’ (السَّمَاءِ) dibaca kasrah, maka bentuknya berubah menjadi pernyataan untuk menunjukkan ketakjuban, "Betapa indahnya langit!".
Perbedaannya hanya terletak pada harakat atau baris pada kata as-samaa'. Demikian detailnya bahasa Arab yang memang layaknya mampu dijadikan sebagai bahasa wahyu bagi kitab suci terakhir, Al-Qur’an Al-Kariem. Bukan tanpa alasan, jika kemudian ada kekeliruan pada pembacaan, pengucapan atau pelafalannya akan berkonsekuensi pada perubahan maknanya.
Contoh lainnya, tampak terlihat pada ketelitian dalam pemilihan diksi katanya. Pada surah al-‘Raf ayat 172, Allah Swt berfirman:
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى
"Bukankah Aku Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘balaa.. ya"
Menurut sahabat Nabi, Ibnu Abbas, jika kata "balaa" (بَلَى) pada ayat ini ditukar dengan "Na’am" (نَعَم), maka yang menjawab seperti itu akan berpotensi kafir, karena "na’am" digunakan sebagai jawaban untuk membenarkan satu pertanyaan, baik pertanyaan itu dengan redaksi positif maupun negatif.
"Bukankah Aku Tuhan kamu?" bila dijawab dengan 'Na’am', maka ini berarti membenarkan redaksi yang bersifat negasi itu, sehingga jawaban ini berarti: "Benar Engkau bukan Tuhanku." Demikian dinukil oleh Zarkasyi dalam kitabnya "al-Burhan fi Ulum Al-Qur'an".
Akan tetapi, karena jawaban pada ayat itu adalah "Balaa" (بَلَى) yang digunakan untuk mengiyakan dalam bentuk yang positif, walaupun redaksinya dalam bentuk negasi, maka pembenaran tersebut adalah mengiyakan pertanyaan itu setelah sebelumnya membuang bentuk negasinya.
Redaksi negasi dalam redaksi ayat tersebut adalah "Bukankah", ini yang ditiadakan, sehingga seakan-akan bunyi ayatnya, "Aku Tuhanmu" dan jawabannya adalah 'Ya' (Engkaulah Tuhan kami).
Demikian kemahaluasan bahasa Arab yang menjadikannya layak dan patut terpilih sebagai bahasa yang mampu menampung wahyu Ilahiyyah yang tak akan mengalami perubahan, baik semenjak 14 abad lalu hingga akan tetap relevan sampai akhir zaman.
Maka, pesan essensial dalam setiap peringatan Nuzul Qur'an adalah haruslah adanya semangat bagi setiap muslim dan muslimah untuk mempelajari bahasa Arab dalam rangka mempelajari serta memahami kitab suci Al-Qur'an Al-Karim.
Tanpa pendekatan bahasa Arab, mustahil Al-Qur'an benar-benar mampu dipahami sebagaimana mestinya dia diturunkan sebagai petunjuk serta cahaya bagi orang yang mengikuti petunjuk cahaya tersebut. (Baca Juga: Inilah Kelebihan Bahasa Arab Dibanding Bahasa Lainnya di Dunia)
Wallahu A'lam
(Dr Miftah)