• Jelajahi

    Copyright © Jakarta Report
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Berlomba pada Perkara Akhirat

    14 Desember 2018, 20:38 WIB Last Updated 2021-06-24T22:30:51Z

    SIAPA mengatakan dunia tidak melenakan? Para abid (ahli ibadah) pun tidak dijamin bebas terlena dalam pusaran dunia. “Dunia akan datang melimpah sepeninggalku (sepeninggal Rasulullah ﷺ), tetapi ia akan memakan iman seperti api membakar kayu.”

    Kekhawatiran Rasul ﷺ di atas, itu bukan tanpa alasan. Ternyata kekhawatiran itu menemukan bukti saat manusia berlomba menghamba pada dunia dan lalu melupakan akhirat.

    Tidak ada yang salah dengan mencintai dunia, tapi jangan lupakan akhirat. Jangan menggadaikan yang fana dengan menanggalkan yang kekal. Manusia rasional mestinya sadar dan berkhidmat pada yang kekal, meski yang fana bisa menjadi ladang untuk sampai pada yang kekal dengan sempurna.

    Maka para ahli hikmah berlomba mengingatkan, seperti berlomba dirinya menggapai akhirat, sebagaimana Hasan al-Bashri RA yang menyatakan, “Tuhan menunjukkan kemurahan-Nya pada orang yang berlomba satu sama lain dalam perkara-perkara [menyangkut] akhirat. Dan Dia akan melilit leher orang yang berbuat aniaya atas dirimu dalam perkara duniawi.”

    Seorang ahli hikmah lainnya, berkata, “Keberhasilan di dunia adalah kegagalan, kebersihannya adalah kotoran, dan penghuninya takut kehilangan kekayaan, dan takut akan kematian.” Tentu jika semua itu disandarkan pada akhirat.

    Seorang Rahib yang ditanya, “Apa pendapatmu tentang waktu?” Dia menjawab, “Waktu akan menghancurkan tubuh, menciptakan angan-angan, menjadikan kematian lebih dekat, dan menjauhkan cahaya.”

    Baik Rasul ﷺ, para ahli hikmah, bahkan Rahib, dan tentu para Sufi, dalam pernyataannya sama-sama memiliki pandangan kekhawatiran pada dunia sehingga melupakan akhirat.

    Tentu pandangan mereka dengan redaksi dan metafor yang berbeda dalam pengungkapan, namun dengan makna yang kurang lebih sama, yakni menghamba pada alam fana yang terbatas, hingga melupakan alam kekal untuk hidup selamanya.

    ***

    Hujjatul-Islam Imam al-Ghazali (w. 1111 M) disebut juga sebagai salah seorang penggali pemikiran Islam utama. Pandangannya berikut ini, yang termuat dalam magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin, yang dianggap sebagai karya Sufistik klasik.

    Dalam salah satu Bagian Khusus, al-Ghazali berupaya menjelaskan salah satu tujuan tentang di balik perintah Allah Subhanahu Wata’ala terkait dengan dunia. Dimana orang beriman diharapkan menjauhkan diri dari dunia.

    Dalam beberapa masa, kaum Sufi yang cenderung meninggalkan dunia dan concern pada akhirat menjadi perbincangan yang tidak mengenakkan. Bagaimana mungkin dunia–di mana kita hidup–mesti ditinggalkan sejauh-jauhnya. Maka Sufi dianggap sebagai kelompok absolut yang menafikan dunia.

    Namun kecaman itu tidak berlaku pada beberapa Sufi termasuk al-Ghazali di dalamnya, yang meski ajarannya menekankan pentingnya meninggalkan dunia, namun tetap mengajarkan keseimbangan antara perlunya kehidupan dunia tanpa melupakan akhirat. Kehidupan dunia diharapkan pada saatnya sebagai penunjang menuju kehidupan akhirat.

    Meninggalkan kehidupan dunia dan memilih kehidupan akhirat itu bisa dimaknai “zuhud”… Pendapat Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah dalam memaknai zuhud begitu apiknya, “Meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat.” Maknanya, kehidupan dunia yang bermanfaat sejatinya juga diharapkan sebagai nilai tambah bekal kehidupan akhirat.

    Era boleh berganti, tapi konsep memaknai dunia dan akhirat mestinya tidak ikut berubah, tersaput oleh pemikiran-pemikiran duniawi sekularistik-kapitalistik, yang akhir-akhir ini menemukan tempat bersemi di kalangan muslim… Wallahu A’lam. *

    Penulis pengamat sosial keagamaan [H]
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini