• Jelajahi

    Copyright © Jakarta Report
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Mengaku Meninggalkan Islam, Hukum Saudi, Qunun dapat Dijatuhi Hukuman Mati

    12 Januari 2019, 19:17 WIB Last Updated 2019-10-24T13:01:44Z
    Remaja perempuan asal Arab Saudi yang melarikan diri dari keluarganya dan sempat tertahan di bandara Suvarnabhumi, Bangkok, kini dalam perjalanan menuju Toronto, Kanada, setelah mendapatkan suaka.

    Perempuan bernama Rahaf Mohammed al-Qunun itu berencana hijrah ke Australia. Saat transit di Bangkok, ia sempat diminta terbang ke Kuwait untuk kembali ke keluarganya.

    Qunun menolak permintaan itu dan mengurung diri di kamar sebuah hotel di bandara. Ketika itulah ia menarik perhatian dunia internasional.

    Perempuan berusia 18 tahun itu mengaku meninggalkan Islam. Atas keputusan itu, menurut hukum Saudi, Qunun dapat dijatuhi hukuman mati.

    Badan pengungsi PBB, UNHCR, kini juga mempertimbangkan memberikan status pengungsi kepadanya.

    Status itu biasanya diterbitkan pemerintah suatu negara. Namun, seperti tertulis dalam situs mereka, UNHCR mengklaim dapat mengeluarkan status itu jika tidak ada negara yang bisa atau bersedia melakukannya.

    Dalam kesempatan berbeda, Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau menyebut negaranya secacra tegas akan membela hak asasi dan hak perempuan di seluruh dunia.

    "Ketika PBB mengajukan suaka bagi Rahaf al-Qunun, kami mengabulkannya," kata Trudeau kepada wartawan.

    Komisioner Tinggi PBB untuk urusan Pengungsi, Filippo Grandi, menyanjung keputusan Kanada. Menurutnya, keadaan yang dialami Qunun memperlihatkan kegentingan yang dihadapi jutaan pengungsi di seluruh dunia.

    "Perlindungan pengungsi kini kerap terancam dan tidak selalu bisa dijamin. Tapi kasus ini, aturan pengungsi internasional dan nilai kemanusiaan telah dimenangkan," kata Grandi.

    Belum lama ini, Kanada memicu amarah pemerintah Arab Saudi. Penyebabnya, Kanada mendesak pembebasan aktivis perempuan di Saudi.

    Dalam peristiwa itu, Saudi memutuskan mengusir Duta Besar Kanada dan membekukan arus perdagangan kedua negara.

    'Ancaman terhadap nyawanya'

    Analisis Jonathan Head, korespondon BBC di Asia Tenggara

    Setelah spekulasi selama beberapa hari bahwa dia dapat dipindahkan ke Australia, Rahaf al-Qunun akhirnya berada di pesawat untuk tujuan penerbangan yang berbeda: Kanada.

    Qunun sempat terlihat ke publik beberapa saat, ketika ia dikawal personel PBB menuju pintu keberangkatan di bandara.

    Ketika pesawatnya tinggal landas, pimpinan dinas keimigrasian Thailand, Mayor Jenderal Surachate Hakparn, menyebut Qunun meninggalkan Bangkok dengan bahagia dan berterima kasih atas seluruh perlakuan yang diterimanya.

    Senin lalu, Surachate mengubah kebijakannya dan bersedia memberikan suaka sementara untuk Rahaf.

    Surachate menuturkan, ayah dan saudara laki-laki Qunun juga akan meninggalkan Thailand dalam waktu dekat. Keduanya datang ke Bangkok untuk membujuk Qunun pulang ke kampung halaman, dan ternyata usaha itu sia-sia.

    Kepergian Qunun ke Kanada berselang dua hari sejak pemerintah Australia menyatakan bersedia menangani kasus perempuan itu. Australia sempat menyebut akan memperlakukan Qunun secara simpatik.

    Tidak jelas mengapa opsi yang ditawarkan Australia diabaikan dan PBB justru beralih ke Kanada. Penyebabnya barangkali kebijakan keras Australia terhadap pengungsi.

    Ada pula dugaan soal pernyataan Menteri Dalam Negeri Australia, Peter Dutton, bahwa Qunun tidak akan menerima perlakuan spesial. Dutton juga menyebut pengajuan suaka Qunun berpotensi berjalan lamban.

    PBB prihatin atas keamanan Qunun, terutama karena munculnya ancaman pembunuhan melalui media sosial. Kanada dianggap dapat menyediakan suaka secara lebih cepat.

    Mengapa dia kabur?
    Di Arab Saudi, setiap orang yang menyangkal atau meninggalkan agama Islam dapat dihukum mati.

    Di bawah sistem perwalian laki-laki, setiap perempuan Saudi harus mendapat persetujuan dari anggota keluarga laki-laki untuk paspor, izin berpergian atau sekolah keluar negeri.

    Hal yang sama berlaku bagi perempuan yang hendak menikah, meninggalkan penjara, atau ingin keluar dari penampungan korban kekerasan.

    Qunun berkata kepada BBC, "Saya membagi kisah dan foto saya di media sosial. Ayah saya menjadi sangat marah."

    "Saya tidak bisa belajar atau bekerja di negara saya. Jadi saya harus bebas agar bisa sekolah dan bekerja sesuai keinginan saya," tuturnya.

    Qunun mengaku, ia juga khawatir akan dibunuh oleh keluarganya sendiri.

    Dalam wawancara dengan kantor berita AFP, ia mengaku mengalami kekerasan fisik dan mental dari keluarganya, termasuk dikurung di kamar selama enam bulan karena memotong rambutnya.

    Juru bicara keluarga Qunun, menyebut mereka tidak ingin berbicara kepada pers. Mereka mengklaim, saat ini hanya mempedulikan keselamatan putri mereka.

    Jumat (11/01), Tak lama sebelum menutup akunnya, Qunun menulis di Twitter bahwa ia menerima berita baik dan buruk. Sejumlah koleganya yakin, Qunun menerima ancaman pembunuhan.

    Pernahkah ini terjadi sebelumnya?
    Ya. Kasus Qunun mengingatkan publik pada kejadian yang menimpa perempuan Saudi yang baru saja tiba di Australia, April 2017.

    Dina Ali Lasloom dalam perjalanan dari Kuwait, lewat Filipina. Namun ia tertangkap dan dibawa kembali ke Saudi oleh keluarganya.

    Perempuan 24 tahun itu menggunakan ponsel seorang turis Kanada untuk mengirim pesan video ke Twitter, bahwa ia terancam dibunuh oleh keluarganya.

    Setelah kembali ke negaranya, nasib Lasloom tidak diketahui.

    'Rahaf menginspirasi'
    'Sara', perempuan Saudi yang berbicara pada BBC World Service

    Qunun adalah pemberi inspirasi. Namun dia bukan yang pertama kali mengalami kondisi ini dan tentu saja bukan yang terakhir,

    Yang kami hadapi sangatlah mengerikan. Kami memikirkan ini setiap hari karena perempuan di Saudi tak tahu rasanya keluar dari rumah. Kami tidak tahu arti kemerdekaan.

    Ayah menahan paspor saya setiap saat. Saat kami pergi ke hotel, ayah meletakkan paspor saya di dekatnya.

    Sayangnya, yang terjadi saat ini bukanlah revolusi. Setiap perempuan Saudi ingin berbicara tentang ini di Twitter, bahwa dia telah kabur atau menggunakan akun paslu seperti saya.

    Beberapa orang mengirim pesan pada saya atau pesan langsung (DM) di Twitter, agar saya menggunakan identitas asli, agar saya berani.

    Kami tidak ingin lagi berada di bawah perwalian laki-laki. Saya ingin keluar rumah, minum kopi di Starbucks. Saya tidak harus pergi bersama keluarga. Ini terlalu kejam bagi kami.

    Hidup dalam situasi seperti ini sangatlah melelahkan. [bbc.com]
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Palestina

    +