Sebelumnya diberitakan sebagaimana dilansir Viva, seorang penulis bernama Restu Bumi menukil pasal 6A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945: "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden."
Dalam pasal itu termaktub pesan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat memenangkan pemilu presiden jika: “1. Suara lebih dari 50%; 2. memenangkan suara di 1/2 jumlah provisnsi (17 provinsi); dan 3. Di 17 Provinsi lainnya yang kalah minimal suara 20%.”
Menanggapi hal tersebut, Prof. Yusril Ihza Mahendra, seorang Ahli Hukum Tata Negara sekaligus anggota koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin, mengatakan, sebagaimana dikutip dari Viva:
"Kalau ada lebih dari dua pasangan, maka jika belum ada salah satu pasangan yang memperoleh suara seperti ketentuan di atas, pasangan tersebut belum otomatis menang. Maka ada putaran kedua,”.
“Pada putaran kedua, ketentuan di atas tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah yang mendapat suara terbanyak. Begitu juga jika pasangan sejak awal memang hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak.”
Mantan menteri kehakiman dan hak asasi manusia itu mengingatkan juga bahwa Mahkamah Konstitusi memutus masalah serupa itu pada 2014. “MK memutuskan, kalau pasangan capres hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak, tanpa memperhatikan sebaran pemilih lagi.”
Hal senada juga diungkapkan Refly Harun, seorang Ahli Hukum Tata Negara, melalui akun media sosial twitternya, @ReflyHZ mencuitkan:
"Kalau jumlah pasangannya cuma dua, tidak dibutuhkan syarat persentase dan persebaran suara. Siapa yang mendapatkan suara yang terbanyak, dia yang menjadi calon terpilih. Putusan MK 3 Juli 2014".
Dalam pasal itu termaktub pesan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat memenangkan pemilu presiden jika: “1. Suara lebih dari 50%; 2. memenangkan suara di 1/2 jumlah provisnsi (17 provinsi); dan 3. Di 17 Provinsi lainnya yang kalah minimal suara 20%.”
Menanggapi hal tersebut, Prof. Yusril Ihza Mahendra, seorang Ahli Hukum Tata Negara sekaligus anggota koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin, mengatakan, sebagaimana dikutip dari Viva:
"Kalau ada lebih dari dua pasangan, maka jika belum ada salah satu pasangan yang memperoleh suara seperti ketentuan di atas, pasangan tersebut belum otomatis menang. Maka ada putaran kedua,”.
“Pada putaran kedua, ketentuan di atas tidak berlaku lagi. Yang berlaku adalah yang mendapat suara terbanyak. Begitu juga jika pasangan sejak awal memang hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak.”
Mantan menteri kehakiman dan hak asasi manusia itu mengingatkan juga bahwa Mahkamah Konstitusi memutus masalah serupa itu pada 2014. “MK memutuskan, kalau pasangan capres hanya dua, maka yang berlaku adalah suara terbanyak, tanpa memperhatikan sebaran pemilih lagi.”
Hal senada juga diungkapkan Refly Harun, seorang Ahli Hukum Tata Negara, melalui akun media sosial twitternya, @ReflyHZ mencuitkan:
"Kalau jumlah pasangannya cuma dua, tidak dibutuhkan syarat persentase dan persebaran suara. Siapa yang mendapatkan suara yang terbanyak, dia yang menjadi calon terpilih. Putusan MK 3 Juli 2014".
Kalau jumlah pasangannya cuma dua, tidak dibutuhkan syarat persentase dan persebaran suara. Siapa yang mendapatkan suara yang terbanyak, dia yang menjadi calon terpilih. Putusan MK 3 Juli 2014.— Refly Harun (@ReflyHZ) April 20, 2019