• Jelajahi

    Copyright © Jakarta Report
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Publikasi Quick Count Pilpres Berpotensi Langgar UU ITE

    19 April 2019, 13:54 WIB Last Updated 2019-10-24T13:01:35Z
    Sekjend Ikatan Advokat Muslim Indonesia (IKAMI) Djudju Purwantoro menduga, pengumuman hasil hitung cepat (quick count) Pilpres 2019 oleh beberapa lembaga survei adalah bentuk kebohongan publik.

    Banyak kalangan masyarakat menduga hasil hitung cepat yang sementara memenangkan pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin adalah suatu hal yang dapat membingungkan dan menyesatkan.

    Deklarator Aliansi Advokat Bersatu Indonesia (AABI) ini menilai, lembaga survei tersebut dapat menggiring dan menyesatkan opini publik.

    Djudju berharap lembaga survei tersebut segera menghentikan hitungan cepatnya tersebut.

    “Mengingat situasi rawan (pasca pemilu) saat ini terutama tentang hasil perolehan suara Pemilu-Pilpres berpotensi menimbulkan keonaran, dan bisa memicu ‘chaos’ di masyarakat,” ujarnya kepada hidayatullah.com di Jakarta, semalam, Kamis (18/04/2019).

    Oleh karena itu, Djudju meminta masyarakat untuk tidak mempercayai penuh hasil hitung cepat tersebut yang diviralkan oleh beberapa stasiun televisi. Hasil hitung cepat tersebut dinilai berpotensi seolah penggiringan opini publik bahwa paslon 01 sudah memenangkan Pilpres 2019.

    Djudju mengatakan bahwa, publikasi tersebut berpotensi melanggar Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 28 (ayat 1 dan 2) Undang Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang ITE.

    Jelasnya, Pasal 14 UU Nomor 1 tahun 1946 ayat (1) berbunyi, ‘barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.’

    Sambungnya, pada ayat (2): ‘Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.’

    Sementara Pasal 15 berbunyi, ‘barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun. (H)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini