• Jelajahi

    Copyright © Jakarta Report
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Awasi Muslim Uighur, Kepolisian Cina Gunakan Aplikasi Telepon Pintar

    04 Mei 2019, 16:33 WIB Last Updated 2019-10-24T13:01:28Z
    Kepolisian Cina menggunakan aplikasi telepon pintar untuk
    mengumpulkan data 13 juta warga minoritas Uighur dan Muslim Turki lainnya di Provinsi Xinjiang. Organisasi kemanusiaan Human Rights Watch (HRW) mengatakan, aplikasi tersebut dikenal sebagai Integrated Joint Operations Platform (IJOP).

    Aplikasi itu mengumpulkan informasi tinggi dan berat badan untuk disesuaikan dengan teknologi pengenalan wajah. Laporan yang dirilis HRW itu menyebutkan pihak berwenang Xinjiang mengawasi dengan ketat 36 kategori perilaku.

    Kategori-kategori tersebut antara lain sosialisasi antartetangga, menolak menggunakan pintu depan, dan tidak menggunakan telepon pintar. Menyumbang ke masjid dengan 'semangat' dan menggunakan listrik secara 'tidak normal' juga termasuk ke dalam kategori perilaku yang diawasi.

    "Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pola dan memprediksi, kehidupan sehari-hari dan perlawanan dari populasi ini dan pada akhirnya untuk merekayasa dan mengkontrol realitas," kata HRW dalam laporan itu seperti dilansir Aljazirah, Kamis (2/5).

    HRW bekerja sama dengan perusahaan keamanan siber Jerman Cure53 untuk melakukan rekayasa terbalik aplikasi tersebut. Agar dapat menyediakan 'jendela yang tidak pernah dilakukan sebelumnya kepada pengawasan massal yang bekerja di Xinjiang'.

    Aplikasi tersebut tidak hanya memberikan informasi pribadi kepada pejabat pemerintah, tapi juga memberikan laporan tentang orang, kendaraan, dan event yang mereka curigai. Lalu polisi menindaklanjuti informasi-informasi tersebut dengan penyelidikan.

    Petugas keamanan juga diminta untuk memeriksa apakah orang-orang yang mencurigakan menggunakan 51 perangkat lunak internet yang dilarang. Termasuk aplikasi layanan kirim pesan yang terkenal di luar Cina, seperti Whatsapp, Line, dan Telegram.

    HRW juga menyebutkan ada beberapa orang yang mengaku anggota keluarganya ditangkap karena memiliki Whatsapp atau memasang virtual private network (VPN) di telepon pintar mereka.

    Cina meningkatkan cengkeraman mereka di Xinjiang setelah serangkaian serangan pisau dan kerusuhan etnis yang terjadi 10 tahun terakhir. Masyarakat internasional sudah mengecam kebijakan keras Pemerintah Cina di wilayah paling utara negara itu. Ada sekitar 1 juta warga Uighur dan sebagian besar minoritas Muslim lainnya ditahan di kamp penahanan.

    Cina mengklaim kamp itu sebagai program vokasi. Namun, selain ditahan banyak warga Uighur yang juga dipaksa untuk menjadi tuan rumah petugas pemerintah yang mengawasi mereka di rumah mereka sendiri.

    "Beijing telah mengumpulkan contoh DNA, sidik jari, selaput pelangi mata, dan golongan darah semua warga yang berusia antara 12 sampai 65 tahun," kata HRW.

    Pemerintah Cina juga telah mengumpulkan sampel suara warga Uighur. Peneliti senior Cina HRW Maya Wang mengatakan, aplikasi ini menunjukkan polisi Xinjiang menggunakan cara yang ilegal dalam mengumpulkan informasi untuk menelusuri perilaku warga Uighur.

    "Sistem petunjuk ini memberikan petunjuk mikro kepada pihak berwenang, mendorong penyelidikan, yang akan diikuti penyelidikan terhadap mereka yang ditahan di kamp reedukasi politik di Xinjiang," kata Wang, dikutip ABC News.

    HRW mewawancarai sejumlah warga Xinjiang yang pernah bersinggungan dengan sistem IJOP. Mantan tahanan kamp reedukasi Ehmet mengatakan, tanda pengenalnya memicu alarm setiap kali ia ingin keluar dari Xinjiang.

    "Polisi jaga mengatakan kepada saya, saya tidak bisa keluar karena saya masuk daftar hitam, jadi saya pergi ke polisi di desa saya dan mengatakan 'saya punya anak dan saya butuh izin untuk pergi'. Tapi polisi tidak memberikan saya otorisasi, jadi saya tidak bisa pergi," kata Ehmet.

    Seorang mahasiswi, Aylin, mengatakan, ibunya dimasukkan ke dalam kamp reedukasi setelah menggunakan kartu SIM yang bukan miliknya. Aylin mengatakan, pihak berwenang menelepon ibunya.

    "Dan bertanya kepada dia sudah berapa tahun dia menggunakan nomor telepon ini, dia mengatakan '11' dan polisi mengatakan 'Anda bohong, tujuh tahun!', dia ketakutan dan tidak sengaja memutus sambungan telepon itu," kata Aylin.

    HRW sudah berulang kali mengeluarkan laporan tentang kerasnya kebijakan Cina di Xinjiang. Analis dari Pusat Kebijakan Siber Internasional di Australian Strategic Policy Institute, Samantha Hoffman, mengatakan, secara psikologis makin orang merasa semua gerak-geriknya diawasi makin besar kemungkinannya mereka melakukan apa pun untuk menghindari zona terlarang.

    "Tidak ada undang-undang di Cina, partai yang sesungguhnya memutuskan mana perilaku yang legal dan mana yang ilegal dan hal itu tidak harus tertulis," kata Hoffman.

    Keprihatinan Guterres

    PBB sudah membahas permasalahan Xinjiang ini dengan Cina. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres mengungkapkan, keprihatinannya atas kondisi Muslim Uighur saat melakukan kunjungan ke Beijing pada April lalu.

    Guterres sempat bertemu dengan Presiden Cina Xi Jinping di sela-sela pertemuan Belt and Road Initiative. Namun, juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, Guterres membahas persoalan Xinjiang ini dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi.

    "Apa yang Sekretaris Jenderal katakan kepada lawan bicaranya di Cina adalah ia sepenuhnya mendukung inisiatif Komisi Tinggi untuk Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet," kata Dujarric.

    Bachelet sudah berulang kali meminta Cina memberikan akses kepada PBB untuk melakukan investigasi independen tentang laporan penghilangan paksa dan penahanan sewenang-wenang terutama di Xinjiang. Sebelumnya, Cina mengatakan mereka menerima pejabat PBB dengan syarat tidak mengintervensi urusan dalam negeri mereka. (rol)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini