Jakarta, Liputan-Ummat.Blogspot.Com - Belum usai kekagetan publik mengenai keberatan dua komisaris PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) atas laporan keuangan periode 2018 yang didongkrak oleh pendapatan yang ternyata berstatus piutang, terkuak fakta bahwa nilai transaksi piutang itu pun berubah.
Sebagaimana diketahui, Garuda meneken kontrak kerja-sama dengan PT Mahata Aero Teknologi untuk pemasangan layanan konektivitas (onboard wifi) dan hiburan pesawat. Nilainya pada 2018 mencapai US$239,94 juta sebagaimana diumumkan tahun lalu.
Angka itu termaktub dalam laporan keuangan tahunan periode 2018 yang dipublikasikan oleh perusahaan pelat merah tersebut. Perjanjian kerja sama diteken pada 31 Oktober 2018 dan kemudian diamandemen pada 26 Desember.
Namun, menurut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, nilai transaksi tersebut ternyata berubah menjadi lebih rendah, sehingga semakin menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas dan reliabilitas (kehandalan) transaksi itu untuk dicatatkan sebagai pendapatan.
Perubahan tersebut terlihat dalam keterbukaan informasi yang dibuat oleh manajemen Garuda pada 4 April lalu, di mana nilai transaksi dengan Mahata tersebut dicatatkan sebesar US$172,94 juta.
Artinya, dalam waktu 4 bulan, nilai transaksi dengan Mahata tersebut menyusut hingga US$67 juta, atau sekitar Rp 948,2 miliar, dibandingkan dengan versi pertama pada Desember 2018 (senilai US$239,94 juta). Nyaris Rp 1 triliun!
Jika semula biaya kompensasi atas hak pemasangan layanan in-flight wifi di 153 pesawat milik Garuda dihargai US$131,94 juta, maka menurut versi terbaru ini harganya kini hanya US$92,94 juta. Sementara itu, hak pengelolaan in-flight entertainment tetap di angka US$80 juta.
Selain itu, Sriwijaya tidak lagi dimasukkan dalam transaksi ini. Dalam perjanjian awal, nilai pemasangan dan pengelolaan in-flight wifi pada 50 pesawat yang dioperasikan Sriwijaya dihargai senilai US$30 juta. Namun, Sriwijaya Air tidak lagi disinggung dan kini hanya menyebutkan layanan untuk Garuda dan Citilink.
Perubahan nilai transaksi ini terkait erat dengan masuknya penilai independen yakni Iskandar dan Rekan yang mengukur kewajaran transaksi kedua belah pihak ini. Analisis dilakukan terhadap nilai transaksi, materialitas, relasi pihak yang bertransaksi, dan analisis perjanjian.
"Nilai transaksi berupa penerimaan atas biaya kompensasi lebih rendah 0,79% dari nilai wajarnya masih dalam kisaran wajar, maka dapat disimpulkan nilai transaksi adalah wajar," demikian pernyatan Iskandar dan Rekan.
Belum Masuk Laporan Keuangan Q1
Nilai terbaru transaksi Mahata ini belum masuk dalam neraca keuangan Garuda per triwulan I/2019 (per Maret) yang masih memasang angka US$239,94 juta. Menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, jika nilai versi baru yang melewati proses appraisal ini dicatatkan dalam laporan tahunan 2018, Garuda aslinya mencatatkan rugi bersih pada tahun lalu.
Secara operasional, total beban usaha yang dibukukan Garuda pada 2018 mencapai US$4,58 miliar, alias US$206,08 juta lebih besar dari pendapatannya. Saat itu, transaksi Mahata (versi pertama senilai US$239,94 juta) menjadi penyelamat, meski masih berstatus piutang.
Dengan revisi nilai transaksi versi penilai independen menjadi hanya US$172,94 juta, maka perusahaan pelat merah ini semestinya mencatatkan Pendapatan Lain-Lain Bersih senilai US$211,8 juta (dan bukannya US$278,81 juta) pada 2018.
Dus, laba usaha pun hanya US$33,8 juta (dan bukannya US$100,8 juta). Ini berujung pada rugi sebelum pajak US$47,99 juta (dan bukannya laba sebelum pajak US$19 juta). Jika kontribusi transaksi Mahata dan Sriwijaya dimasukkan (sebesar US$30 juta), maka perseroan masih memikul rugi sebelum pajak US$17,99 juta.
Pertanyaannya, kenapa sih maksain memasukkan nilai transaksi yang belum melewati proses penilaian tersebut pada tahun lalu? Mengapa tidak di-appraise dulu baru kemudian dicatatkan di laporan pembukuan akhir tahun?
Tentunya percuma mencetak laba bersih yang duitnya belum di tangan dan ternyata hilang (berbalik menjadi rugi bersih) hanya dalam waktu 4 bulan. Apalagi jika harga yang harus dibayar adalah rusaknya reputasi maskapai nasional ini di mata investor, dan publik karena "memainkan angka" agar terlihat kinclong kinerjanya. (cnbcindonesia)
**
Menanggapi hal tersebut, netizen pun menanggapi, diantaranya:
Tawazun ilm : "Kalau ga bisa untung dari CORE BISNIS ngapain usaha penerbangan. Ganti saja jajaran manajemennya, bila perlu MENTERI BUMNnya sekalian. Garuda jangan cuma bisa "gaya", sok keren tapi ga ada hasil. Ga mutu, gaya doang".
alibaba : "Hasil nyata dari revolusi mental 👍🏻............."
Sebagaimana diketahui, Garuda meneken kontrak kerja-sama dengan PT Mahata Aero Teknologi untuk pemasangan layanan konektivitas (onboard wifi) dan hiburan pesawat. Nilainya pada 2018 mencapai US$239,94 juta sebagaimana diumumkan tahun lalu.
Angka itu termaktub dalam laporan keuangan tahunan periode 2018 yang dipublikasikan oleh perusahaan pelat merah tersebut. Perjanjian kerja sama diteken pada 31 Oktober 2018 dan kemudian diamandemen pada 26 Desember.
Namun, menurut penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, nilai transaksi tersebut ternyata berubah menjadi lebih rendah, sehingga semakin menimbulkan pertanyaan mengenai akuntabilitas dan reliabilitas (kehandalan) transaksi itu untuk dicatatkan sebagai pendapatan.
Perubahan tersebut terlihat dalam keterbukaan informasi yang dibuat oleh manajemen Garuda pada 4 April lalu, di mana nilai transaksi dengan Mahata tersebut dicatatkan sebesar US$172,94 juta.
Artinya, dalam waktu 4 bulan, nilai transaksi dengan Mahata tersebut menyusut hingga US$67 juta, atau sekitar Rp 948,2 miliar, dibandingkan dengan versi pertama pada Desember 2018 (senilai US$239,94 juta). Nyaris Rp 1 triliun!
Jika semula biaya kompensasi atas hak pemasangan layanan in-flight wifi di 153 pesawat milik Garuda dihargai US$131,94 juta, maka menurut versi terbaru ini harganya kini hanya US$92,94 juta. Sementara itu, hak pengelolaan in-flight entertainment tetap di angka US$80 juta.
Selain itu, Sriwijaya tidak lagi dimasukkan dalam transaksi ini. Dalam perjanjian awal, nilai pemasangan dan pengelolaan in-flight wifi pada 50 pesawat yang dioperasikan Sriwijaya dihargai senilai US$30 juta. Namun, Sriwijaya Air tidak lagi disinggung dan kini hanya menyebutkan layanan untuk Garuda dan Citilink.
Perubahan nilai transaksi ini terkait erat dengan masuknya penilai independen yakni Iskandar dan Rekan yang mengukur kewajaran transaksi kedua belah pihak ini. Analisis dilakukan terhadap nilai transaksi, materialitas, relasi pihak yang bertransaksi, dan analisis perjanjian.
"Nilai transaksi berupa penerimaan atas biaya kompensasi lebih rendah 0,79% dari nilai wajarnya masih dalam kisaran wajar, maka dapat disimpulkan nilai transaksi adalah wajar," demikian pernyatan Iskandar dan Rekan.
Belum Masuk Laporan Keuangan Q1
Nilai terbaru transaksi Mahata ini belum masuk dalam neraca keuangan Garuda per triwulan I/2019 (per Maret) yang masih memasang angka US$239,94 juta. Menurut perhitungan Tim Riset CNBC Indonesia, jika nilai versi baru yang melewati proses appraisal ini dicatatkan dalam laporan tahunan 2018, Garuda aslinya mencatatkan rugi bersih pada tahun lalu.
Secara operasional, total beban usaha yang dibukukan Garuda pada 2018 mencapai US$4,58 miliar, alias US$206,08 juta lebih besar dari pendapatannya. Saat itu, transaksi Mahata (versi pertama senilai US$239,94 juta) menjadi penyelamat, meski masih berstatus piutang.
Dengan revisi nilai transaksi versi penilai independen menjadi hanya US$172,94 juta, maka perusahaan pelat merah ini semestinya mencatatkan Pendapatan Lain-Lain Bersih senilai US$211,8 juta (dan bukannya US$278,81 juta) pada 2018.
Dus, laba usaha pun hanya US$33,8 juta (dan bukannya US$100,8 juta). Ini berujung pada rugi sebelum pajak US$47,99 juta (dan bukannya laba sebelum pajak US$19 juta). Jika kontribusi transaksi Mahata dan Sriwijaya dimasukkan (sebesar US$30 juta), maka perseroan masih memikul rugi sebelum pajak US$17,99 juta.
Pertanyaannya, kenapa sih maksain memasukkan nilai transaksi yang belum melewati proses penilaian tersebut pada tahun lalu? Mengapa tidak di-appraise dulu baru kemudian dicatatkan di laporan pembukuan akhir tahun?
Tentunya percuma mencetak laba bersih yang duitnya belum di tangan dan ternyata hilang (berbalik menjadi rugi bersih) hanya dalam waktu 4 bulan. Apalagi jika harga yang harus dibayar adalah rusaknya reputasi maskapai nasional ini di mata investor, dan publik karena "memainkan angka" agar terlihat kinclong kinerjanya. (cnbcindonesia)
**
Menanggapi hal tersebut, netizen pun menanggapi, diantaranya:
Tawazun ilm : "Kalau ga bisa untung dari CORE BISNIS ngapain usaha penerbangan. Ganti saja jajaran manajemennya, bila perlu MENTERI BUMNnya sekalian. Garuda jangan cuma bisa "gaya", sok keren tapi ga ada hasil. Ga mutu, gaya doang".
alibaba : "Hasil nyata dari revolusi mental 👍🏻............."