6 Syuhada FPI |
Gabungan lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) mendesak pengusutan kasus penembakan anggota Front Pembela Islam (FPI). Gabungan tersebut merupakan Koalisi Masyarakat Sipil, terdiri dari LBH Jakarta, YLBHI, ICJR, IJRS, HRWG, Institut Perempuan, LBH Masyarakat, LeIP, KontraS, SETARA Institute, PSHK, ELSAM, Amnesty International Indonesia, Public Virtue Institute, PBHI, PIL-Net, ICEL, Asosiasi LBH APIK Indonesia, Imparsial, dan LBH Pers.
Koalisi Masyarakat Sipil menduga kuat terjadi pelanggaran HAM dalam kasus penembakan 6 anggota FPI oleh kepolisian tersebut.
“Koalisi menilai ada banyak kejanggalan dalam peristiwa tersebut yang harus diusut karena diduga kuat terdapat pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak atas peradilan yang adil dan hak hidup warga negara. Konstitusi RI menjamin setiap orang yang melakukan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia harus diajukan ke pengadilan dan dihukum melalui proses yang adil dan transparan,” ujar Ketua Divisi Advokasi LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, dalam pernyataan bersama Koalisi tersebut diterima hidayatullah.com, Selasa (08/12/2020) malam.
Beberapa kejanggalan tersebut, menurut Koalisi, di antaranya: mengapa polisi sampai membuntuti pihak FPI hanya karena mendengar kabar akan ada pengerahan massa untuk unjuk rasa. Alasan penembakan juga bersifat umum, yaitu “karena ada penyerangan dari anggota FPI”. Jika memang ada senjata api dari pihak FPI mengapa tidak dilumpuhkan saja?. Jika memang terdapat dugaan memiliki senjata api dan tidak memiliki izin, tentunya ini merupakan pelanggaran hukum dan harus diusut tuntas pula.
“Kejanggalan lainnya adalah CCTV di lokasi kejadian yang tidak berfungsi,” imbuhnya.
Mengenai kronologi kejadian, tambah Koalisi, juga saling bertolak belakang antara FPI dan kepolisian. Tentunya menurut Koalisi kronologi tersebut tidak bisa ditelan mentah-mentah karena seringkali tidak benar.
Dalam kasus pembunuhan YBD oleh polisi tahun 2011 yang ditangani LBH Jakarta, misalnya, sebut Koalisi, polisi berkilah YBD melawan petugas sehingga harus ditembak. Belakangan hasil otopsi menunjukkan bahwa tubuh YBD penuh luka penyiksaan karena diseret dan dipukuli oleh polisi dan pada akhirnya anggota kepolisian yang melakukan pembunuhan dihukum penjara tapi sangat ringan.
Begitu pula, tambahnya, dalam Operasi Pekat jelang Asian Games 2018, misalnya, kepolisian menembak 77 orang hingga tewas. Ketika diotopsi ternyata asal tembakan dari belakang. Tindakan penembakan yang patut diragukan kegentingannya.
“Koalisi menegaskan bahwa penggunaan dengan senjata api oleh kepolisian seharusnya hanya merupakan upaya terakhir yang sifatnya untuk melumpuhkan dan hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut atau ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia,” ujarnya.
“Koalisi meminta agar dilakukan penyelidikan independen yang serius terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, peristiwa ini harus diusut secara transparan dan akuntabel,” ujarnya.
Gabungan lembaga HAM tersebut juga menyatakan tindakan extra-judicial killing atau pembunuhan di luar putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap orang-orang yang diduga terlibat kejahatan merupakan sebuah pelanggaran HAM dan pelanggaran hukum acara pidana yang serius.
“Orang-orang yang diduga terlibat kejahatan memiliki hak untuk ditangkap dan dibawa ke muka persidangan dan mendapatkan peradilan yang adil (fair trial) guna membuktikan bahwa apakah tuduhan yang disampaikan oleh negara adalah benar. Hak-hak tersebut jelas tidak akan terpenuhi apabila para tersangka “dihilangkan nyawanya“ sebelum proses peradilan dapat dimulai. Penuntutan terhadap perkara tersebut akan otomatis gugur karena pelaku meninggal dunia,” ujarnya.
Koalisi khawatir tindakan brutal dan melanggar seperti ini tidak mendapatkan sanksi. Selama ini hampir tak ada penegakan hukum sungguh-sungguh terhadap tindakan extra-judicial killing yang diduga kuat oleh aparat. “Akibatnya kasus-kasus serupa terus berulang,” imbuhnya.
Catatan YLBHI, misalnya, kata Nelson, menemukan sedikitnya 67 orang meninggal sebagai korban tindakan extra-judicial killing pada tahun 2019. Berkaca pada kasus-kasus tahun 2019, mayoritas pelaku adalah aparat kepolisian yaitu 98,5% atau 66 kasus dan sisanya (1 kasus) terindikasi militer.
Koalisi tidak menampik bahwa anggota kepolisian juga harus dilindungi dalam kondisi yang membahayakan nyawanya. Adapun upaya penembakan yang ditujukan untuk melumpuhkan pelaku kejahatan memang diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Perkap 1/2009 secara tegas dan rinci telah menjabarkan dalam situasi seperti apa upaya penembakan dapat dilakukan dan prinsip-prinsip dasar apa saja yang harus selalu dipegang teguh oleh aparat kepolisian dalam melakukan upaya penembakan tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Perkap 1/2009, sebelum memutuskan untuk melakukan penembakan dengan senjata api, aparat wajib mengupayakan terlebih dahulu tindakan seperti perintah lisan, penggunaan senjata tumpul, senjata kimia seperti gas air mata atau semprotan cabe.
Setelah segenap upaya tersebut dilakukan, tambahnya, aparat kepolisian baru diperbolehkan menggunakan senjata api atau alat lain dengan tujuan untuk menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka. Itu pun hanya apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
Dengan kata lain, penggunaan senjata api harus merupakan upaya yang paling terakhir (last resort) dan sifatnya adalah melumpuhkan bukan mematikan. Upaya penembakan dengan senjata api hanya dapat dilakukan oleh anggota Polri ketika ia tidak memiliki alternatif lain yang beralasan dan masuk akal untuk menghentikan tindakan/perbuatan pelaku kejahatan atau tersangka tersebut atau ketika anggota Polri tersebut sedang mencegah larinya pelaku kejahatan atau tersangka yang merupakan ancaman segera terhadap jiwa anggota Polri atau masyarakat.
“Dengan berkaca pada ketentuan sebagaimana di atas, Koalisi Masyarakat Sipil meminta penyelidikan yang serius, transparan dan akuntabel terhadap penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang menyebabkan 6 orang meninggal dunia,” ujarnya.
Oleh karena itu, Koalisi mendesak Pemerintah untuk membentuk tim independen melibatkan Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk menyelidiki dengan serius tindakan penembakan dari aparat kepolisian dalam peristiwa tersebut, serta membuka hasil fakta-fakta yang ditemukan dari proses penyelidikan tersebut.
“Setiap tindakan yang diambil oleh aparat kepolisian haruslah sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku serta dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Koalisi juga mendesak agar Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan perlindungan terhadap saksi, yang keterangannya sangat diperlukan untuk membuat terang perkara ini.
Pada Senin (07/12/2020) pagi, aparat melakukan penembakan terhadap 6 orang warga negara yang disebut anggota FPI di kilometer 50 Tol Jakarta – Cikampek, kepolisian mennyebutkan “Anggota Polisi yang terancam keselamatan jiwanya karena diserang, kemudian melakukan tindakan tegas terukur. Sehingga terhadap kelompok MRS (Muhammad Rizieq Shihab) yang berjumlah 10 orang, meninggal dunia sebanyak 6 orang, dan 4 orang melarikan diri".
Sumber: Hidayatullah.com