BARU-BARU ini sebagian besar umat Islam dihebohkan dengan pernyataan Ketua Umum PSI, Grace Natalie, saat menyapaikan pidato politik pada Festival 11 di Surabaya (11/12/2018) yang intinya PSI tak akan pernah mendukung poligami. Larangan itu bukan hanya untuk kader, tapi juga pengurus dan anggota legislatif dari partainya.
Pernyataan ini tentu bertentangan dengan hukum Islam maupun undang-undang negara. Dalam buku “Undang-Undang Perkawinan” No. 1 (1974) Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 ayat 2, secara tegas poligami dibolehkan, tapi dengan syarat yang cukup ketat, di antaranya: mendapat izin dari istri ( UU Perkawinan, 2004: 2-9).
Dalam Islam, ayat yang menunjukkan dibolehkannya poligami (maksimal 4 istri) adalah Surah An-Nisa, ayat 3:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa [4]: 3) Namun, dalam ayat yang sama disebutkan syarat yang ketat, yaitu: adil.
Dengan demikian, poligami pada dasarnya dibolehkan. Anehnya, bagi yang nyinyir, mencaci, mencemooh bahkan menghujat pelaku poligami, tidak peduli dengan legalitas hukum poligami. Di samping itu, ada sikap yang tidak adil yang diperlihatkan, misalnya: kalau ada tokoh yang terjerat kasus melacur, menikmati prostitusi, selingkuh, tidak begitu dipermasalahkan. Ketika ada tokoh Islam yang poligami (yang secara hukum halal), di-bully habis-habisan.
Kalaupun yang disasar Grace Natalie hanya internal PSI, namun anggotanya `kan banyak yang muslim. Ketika poligami dilarang, maka sama saja dengan menghadang pensyariatan poligami bagi yang mampu dan berlaku adil.
Di sisi lain, jika kemudian poligami –oleh kebanyakan penentangnya– dianggap bisa menyakiti wanita, seperti yang biasa digaungkan oleh para pembencinya, maka itu lain soal dan bisa diperdebatkan secara ilmiah. Tapi yang jelas, poligami di Indonesia ada payung hukumnya.
Fenomena hujatan dan cacian terhadap praktik poligami, bukan hal baru. Pada tahun 1937 misalnya, Siti Soemandari (seorang Theosof), Pimpinan Majalah Bangoen, dalam artikelnya banyak melecehkan Islam, khususnya: pernikahan dalam Islam dan syariat poligami (Artawijaya, 2010: 195). Tulisan-tulisan yang kontroversial ini tentu saja mendapat penolakan JIB (Jong Islamieten Bond), oraganisasi pemuda Islam dan umat Islam lainnya, dengan menghelat rapat Akbar di Jakarta.
Ir. Soekarno pun menantang keras poligami. Presiden Pertama Indonesia ini, berpihak kepada Persatoean Poetri Indonesia yang menolak poligami (Mansur Suryanegara, 2014: I/514). Sedangkan Natsir, JIB, dan H.O.S. Cokro Aminoto membolehkan poligami tentunya jika syaratnya terpenuhi.
Menariknya, Soekarno yang awalnya getol menolak poligami, pada akhirnya berpoligami. Sedangkan Natsir sebaliknya, sepanjang hayatnya monogami.
Dalam buku “Soekarno Paradoks Revolusi Indonesia” (2010: 26-27), Soekarno memiliki sembilan istri: Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Dewi Sukarno, Haryati, Yurike Sanger, Kartini Manoppo dan Heldy Djafar.
Kasus lain yang tidak kalah sangar, adalah Soewarni Pringgodigdo, aktivis perempuan sekuler, menilai poligami nista dan merendahkan perempuan. Baginya, Indonesia tidak akan merdeka secara sempurna sepanjang rakyat menyukai poligami.
Istri-istri presiden Soekarno (Bintang.com)
Pada 13 oktober 1928, di sebuah forum perkumpulan wanita yang dihadiri oleh Ir. Soekarno, Natsir mewakili JIB, mengkritik Soewarni dan organisasi perempuan yang anti poligami. Kritik Natsir, yang cukup membuat kuping merah ini, akhirnya membuat beliau disuruh berhenti berbicara sebelum waktu usai, mereka anggap Natsir membahas masalah agama (Gerakan Theosofi di Indonesia, Artawijaya, 2010: 233).
Pada tahun 1928, saat poligami dicela kalangan nasionalis sekuler, organisasi Aisyiyah tak tinggal diam.
Siti Moentidjah pada Kongres Perempuan Indonesia, dalam pidatonya mendukung poligami dan menganggapnya bagian dari syariat Islam. Kelmpok perempuan Muhammadiyah ini tidak menganjurkan poligami, tapi di waktu yang sama menolak penghapusan pembolehan syariat poligami dalam Islam (A Study of ‘Aisyiyah: An Indonesian Women Organization (1917-1998), tesis, Ro’fah, 2000)
Dari pengalaman sejarah tersebut, syariat poligami memang ada pro dan kontra. Tapi, bahwa poligami legal secara hukum negara dan agama dengan syarat ketat, tidak terbantahkan. Bagi yang mencibir, mencela, mem-bully poligami dan praktiknya, ada baiknya mengevaluasi diri: orang nikah dengan jalan sah Anda caci, sedangkan orang yang selingkuh, menikmati prostisusi dimaklumi.
Sikap adil dalam menilai poligami dan praktiknya, menjadi solusi terbaik. Masalahnya, bagaimana bisa adil, jika sejak dalam pikiran sudah anti-pati dengan poligami.
Ketika Buya H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) didatangi perempuan yang curhat dan meminta solusi ingin cerai gara-gara suaminya poligami, di antara nasihat beliau adalah, “Buya dilarang agama untuk menganjurkan ananda mengajukan cerai ke suami. Dan Buya tidak berhak menganjurkan ananda untuk bersabar. Keputusan ada di tangan ananda. Semua tergantung tinggi rendahnya iman seseorang pada Allah.” (Ayah, Kisah Buya Hamka, Irfan, 2013).
Uniknya, selama hayatnya beliau tak pernah melakukan poligami sekaligus tak pernah menggugat, menghujat atau bahkan menolaknya.*
Penulis alumni Al Azhar, Mesir [H]
Pernyataan ini tentu bertentangan dengan hukum Islam maupun undang-undang negara. Dalam buku “Undang-Undang Perkawinan” No. 1 (1974) Pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 ayat 2, secara tegas poligami dibolehkan, tapi dengan syarat yang cukup ketat, di antaranya: mendapat izin dari istri ( UU Perkawinan, 2004: 2-9).
Dalam Islam, ayat yang menunjukkan dibolehkannya poligami (maksimal 4 istri) adalah Surah An-Nisa, ayat 3:
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ ٣
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa [4]: 3) Namun, dalam ayat yang sama disebutkan syarat yang ketat, yaitu: adil.
Dengan demikian, poligami pada dasarnya dibolehkan. Anehnya, bagi yang nyinyir, mencaci, mencemooh bahkan menghujat pelaku poligami, tidak peduli dengan legalitas hukum poligami. Di samping itu, ada sikap yang tidak adil yang diperlihatkan, misalnya: kalau ada tokoh yang terjerat kasus melacur, menikmati prostitusi, selingkuh, tidak begitu dipermasalahkan. Ketika ada tokoh Islam yang poligami (yang secara hukum halal), di-bully habis-habisan.
Kalaupun yang disasar Grace Natalie hanya internal PSI, namun anggotanya `kan banyak yang muslim. Ketika poligami dilarang, maka sama saja dengan menghadang pensyariatan poligami bagi yang mampu dan berlaku adil.
Di sisi lain, jika kemudian poligami –oleh kebanyakan penentangnya– dianggap bisa menyakiti wanita, seperti yang biasa digaungkan oleh para pembencinya, maka itu lain soal dan bisa diperdebatkan secara ilmiah. Tapi yang jelas, poligami di Indonesia ada payung hukumnya.
Fenomena hujatan dan cacian terhadap praktik poligami, bukan hal baru. Pada tahun 1937 misalnya, Siti Soemandari (seorang Theosof), Pimpinan Majalah Bangoen, dalam artikelnya banyak melecehkan Islam, khususnya: pernikahan dalam Islam dan syariat poligami (Artawijaya, 2010: 195). Tulisan-tulisan yang kontroversial ini tentu saja mendapat penolakan JIB (Jong Islamieten Bond), oraganisasi pemuda Islam dan umat Islam lainnya, dengan menghelat rapat Akbar di Jakarta.
Ir. Soekarno pun menantang keras poligami. Presiden Pertama Indonesia ini, berpihak kepada Persatoean Poetri Indonesia yang menolak poligami (Mansur Suryanegara, 2014: I/514). Sedangkan Natsir, JIB, dan H.O.S. Cokro Aminoto membolehkan poligami tentunya jika syaratnya terpenuhi.
Menariknya, Soekarno yang awalnya getol menolak poligami, pada akhirnya berpoligami. Sedangkan Natsir sebaliknya, sepanjang hayatnya monogami.
Dalam buku “Soekarno Paradoks Revolusi Indonesia” (2010: 26-27), Soekarno memiliki sembilan istri: Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Dewi Sukarno, Haryati, Yurike Sanger, Kartini Manoppo dan Heldy Djafar.
Kasus lain yang tidak kalah sangar, adalah Soewarni Pringgodigdo, aktivis perempuan sekuler, menilai poligami nista dan merendahkan perempuan. Baginya, Indonesia tidak akan merdeka secara sempurna sepanjang rakyat menyukai poligami.
Istri-istri presiden Soekarno (Bintang.com)
Pada 13 oktober 1928, di sebuah forum perkumpulan wanita yang dihadiri oleh Ir. Soekarno, Natsir mewakili JIB, mengkritik Soewarni dan organisasi perempuan yang anti poligami. Kritik Natsir, yang cukup membuat kuping merah ini, akhirnya membuat beliau disuruh berhenti berbicara sebelum waktu usai, mereka anggap Natsir membahas masalah agama (Gerakan Theosofi di Indonesia, Artawijaya, 2010: 233).
Pada tahun 1928, saat poligami dicela kalangan nasionalis sekuler, organisasi Aisyiyah tak tinggal diam.
Siti Moentidjah pada Kongres Perempuan Indonesia, dalam pidatonya mendukung poligami dan menganggapnya bagian dari syariat Islam. Kelmpok perempuan Muhammadiyah ini tidak menganjurkan poligami, tapi di waktu yang sama menolak penghapusan pembolehan syariat poligami dalam Islam (A Study of ‘Aisyiyah: An Indonesian Women Organization (1917-1998), tesis, Ro’fah, 2000)
Dari pengalaman sejarah tersebut, syariat poligami memang ada pro dan kontra. Tapi, bahwa poligami legal secara hukum negara dan agama dengan syarat ketat, tidak terbantahkan. Bagi yang mencibir, mencela, mem-bully poligami dan praktiknya, ada baiknya mengevaluasi diri: orang nikah dengan jalan sah Anda caci, sedangkan orang yang selingkuh, menikmati prostisusi dimaklumi.
Sikap adil dalam menilai poligami dan praktiknya, menjadi solusi terbaik. Masalahnya, bagaimana bisa adil, jika sejak dalam pikiran sudah anti-pati dengan poligami.
Ketika Buya H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) didatangi perempuan yang curhat dan meminta solusi ingin cerai gara-gara suaminya poligami, di antara nasihat beliau adalah, “Buya dilarang agama untuk menganjurkan ananda mengajukan cerai ke suami. Dan Buya tidak berhak menganjurkan ananda untuk bersabar. Keputusan ada di tangan ananda. Semua tergantung tinggi rendahnya iman seseorang pada Allah.” (Ayah, Kisah Buya Hamka, Irfan, 2013).
Uniknya, selama hayatnya beliau tak pernah melakukan poligami sekaligus tak pernah menggugat, menghujat atau bahkan menolaknya.*
Penulis alumni Al Azhar, Mesir [H]