MERAYAKAN tahun baru adalah merayakan harapan baru. Indonesia memiliki harapan baru karena akan menggelar Pemilu. Pilpres 2019 diyakini sebagai gerbang menuju Indonesia baru.
Tahun 2018 telah dilalui dengan beragam dinamikanya. Salah satu peristiwa yang patut disoroti adalah munculnya gerakan #2019GantiPresiden. Tidak butuh waktu lama, gerakan tersebut terus membesar dan merebak ke seluruh Indonesia.
Rezim sangat ketakutan. Berbagai upaya dilakukan untuk meredam gerakan tersebut, mulai dari melayangkan tuduhan makar, mengerahkan preman-preman mengepung bandara dan merobek kaos #2019GantiPresiden, hingga mengintimidasi para tokohnya.
Patut dilacak kenapa gerakan #2019GantiPresiden cepat membesar. Jawabannya adalah karena rakyat ingin perubahan. Rezim Jokowi dianggap sudah gagal memimpin negeri ini. Gagal total maka layak diganti.
Dimana kegagalannya? Adakah standar baku yang bisa dijadikan tolak ukur? Gampang! Mari cek satu per satu janji-janji politiknya.
Pertama, janji tidak berutang. Tapi kenyatannya, utang menumpuk, baik utang pemerintah maupun utang BUMN. Jika utang keduanya digabung sudah mencapai 60 persen GDP. Sejatinya angka 60 persen adalah pelanggaran terhadap UU Keuangan Negara. Rezim bertindak licik dengan membelah utang menjadi dua bagian, yakni utang pemerintah dan utang BUMN.
Manipulasi utang memang mampu mengamankan rezim dari ancaman impeachment, namun di sisi lain sangat membahayakan BUMN yang bersangkutan. Karena jika BUMN yang diberi "tugas" berutang gagal bayar maka akan disita oleh kreditor.
Kedua, berjanji akan mengangkat Pegawai Honorer K2 menjadi PNS. Kenyatannya, hingga sekarang Honorer K2 masih terlunta-lunta. Jokowi ingkar janji. Bukan PNS yang diberikan, tapi PPPK yang disodorkan.
Ketiga, berjanji akan memuliakan para petani dan tidak akan impor. Kenyatannya, rezim ini kalap impor. Impor beras 2 juta ton. Impor garam 3,7 juta ton. Impor gula 3,6 juta ton. Petani yang berharap mendapatkan harga bagus harus gigit jari. Ternyata yang dimuliakan petani asing.
Dan masih banyak janji politik lainnya yang hingga tahun keempat pemerintahannya gagal terpenuhi. Selain itu, rakyat juga sudah muak dengan gaya pencitraan Jokowi. Pencitraan yang mengantarkan Jokowi ke singgasana kekuasaan, dianggap sebagai pengelabuhan dan pembodohan publik. Rakyat sudah sadar. Rakyat ingin perubahan.
Memasuki 2019, semangat perubahan harus dipompa lebih keras. Karena pada tahun ini ada momentum penting untuk mengganti kepemimpinan nasional. Jika ingin perubahan maka solusinya adalah memenangkan Pilpres 2019.
Untuk meraih kemenangan, semangat militansi harus terus dipupuk. Karena rezim akan menempuh segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Ini bukan sekedar indikasi, tapi sudah fakta. Kasus tercecernya KTP elektronik di beberapa tempat, dijualnya blanko KTP-el, dan juga temuan DPT ganda, adalah buktinya.
Pilpres 2019 tinggal 3,5 bulan lagi, jika ingin perubahan, saatnya rapatkan barisan, kawal Prabowo-Sandi menuju kemenangan. Salam adil makmur. [***]
Moh. Nizar Zahro
Ketua Umum Satuan Relawan Indonesia Raya (Satria) Gerindra [rmol]
Tahun 2018 telah dilalui dengan beragam dinamikanya. Salah satu peristiwa yang patut disoroti adalah munculnya gerakan #2019GantiPresiden. Tidak butuh waktu lama, gerakan tersebut terus membesar dan merebak ke seluruh Indonesia.
Rezim sangat ketakutan. Berbagai upaya dilakukan untuk meredam gerakan tersebut, mulai dari melayangkan tuduhan makar, mengerahkan preman-preman mengepung bandara dan merobek kaos #2019GantiPresiden, hingga mengintimidasi para tokohnya.
Patut dilacak kenapa gerakan #2019GantiPresiden cepat membesar. Jawabannya adalah karena rakyat ingin perubahan. Rezim Jokowi dianggap sudah gagal memimpin negeri ini. Gagal total maka layak diganti.
Dimana kegagalannya? Adakah standar baku yang bisa dijadikan tolak ukur? Gampang! Mari cek satu per satu janji-janji politiknya.
Pertama, janji tidak berutang. Tapi kenyatannya, utang menumpuk, baik utang pemerintah maupun utang BUMN. Jika utang keduanya digabung sudah mencapai 60 persen GDP. Sejatinya angka 60 persen adalah pelanggaran terhadap UU Keuangan Negara. Rezim bertindak licik dengan membelah utang menjadi dua bagian, yakni utang pemerintah dan utang BUMN.
Manipulasi utang memang mampu mengamankan rezim dari ancaman impeachment, namun di sisi lain sangat membahayakan BUMN yang bersangkutan. Karena jika BUMN yang diberi "tugas" berutang gagal bayar maka akan disita oleh kreditor.
Kedua, berjanji akan mengangkat Pegawai Honorer K2 menjadi PNS. Kenyatannya, hingga sekarang Honorer K2 masih terlunta-lunta. Jokowi ingkar janji. Bukan PNS yang diberikan, tapi PPPK yang disodorkan.
Ketiga, berjanji akan memuliakan para petani dan tidak akan impor. Kenyatannya, rezim ini kalap impor. Impor beras 2 juta ton. Impor garam 3,7 juta ton. Impor gula 3,6 juta ton. Petani yang berharap mendapatkan harga bagus harus gigit jari. Ternyata yang dimuliakan petani asing.
Dan masih banyak janji politik lainnya yang hingga tahun keempat pemerintahannya gagal terpenuhi. Selain itu, rakyat juga sudah muak dengan gaya pencitraan Jokowi. Pencitraan yang mengantarkan Jokowi ke singgasana kekuasaan, dianggap sebagai pengelabuhan dan pembodohan publik. Rakyat sudah sadar. Rakyat ingin perubahan.
Memasuki 2019, semangat perubahan harus dipompa lebih keras. Karena pada tahun ini ada momentum penting untuk mengganti kepemimpinan nasional. Jika ingin perubahan maka solusinya adalah memenangkan Pilpres 2019.
Untuk meraih kemenangan, semangat militansi harus terus dipupuk. Karena rezim akan menempuh segala cara untuk mempertahankan kekuasaan. Ini bukan sekedar indikasi, tapi sudah fakta. Kasus tercecernya KTP elektronik di beberapa tempat, dijualnya blanko KTP-el, dan juga temuan DPT ganda, adalah buktinya.
Pilpres 2019 tinggal 3,5 bulan lagi, jika ingin perubahan, saatnya rapatkan barisan, kawal Prabowo-Sandi menuju kemenangan. Salam adil makmur. [***]
Moh. Nizar Zahro
Ketua Umum Satuan Relawan Indonesia Raya (Satria) Gerindra [rmol]