• Jelajahi

    Copyright © Jakarta Report
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Nabi Muhammad SAW Sebagai Pemimpin Agama dan Pemimpin Negara

    11 Mei 2019, 04:25 WIB Last Updated 2019-10-24T13:01:23Z
    Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, risalah ilahi masih berbentuk lokal. Maksudnya para rasul masih diutus untuk kaumnya masing-masing. Para rasul itu menyeru hanya kepada kaumnya, sebagaimana yang dikisahkan Allah dalam Al Qur’an dari mulai Nuh, Hud, Syu’aib, sampai Shalih. Seruan mereka berbunyi, “Wahai kaumku!” dan begitu juga Nabi Isa, sebagaimana diriwayatkan, berkata, “Aku diutus karena penyelewengan Bani Israil yang sesat.” Namun setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW, risalah ilahi dibawah naungan Islam beralih dari kerangka yang bersifat kesukuan menjadi kemanusiaan. Karena itu seruannya menjadi, “Wahai manusia!” Jadi seluruh manusia diharuskan mengikuti satu Rasul, yaitu Muhammad SAW. Karena itu tidak ada rasul sesudahnya dan tidak diterima mengikuti rasul-rasul sebelumnya.


    Allah SWT berfirman:

    مَاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلكِنْ رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّينَ …
    Artinya: “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…” [QS.Al-Ahzab: 40]

    Islam yang lahir atas dasar rahmatan lil alamin diharapkan mampu menyejahterakan manusia dalam segala hal. Karena itu ajaran Islam merupakan suatu sistem normatif dimana agama berhubungan secara integral dengan segala bidang kehidupan umat Islam, seperti politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan keluarga, seperti dirumuskan oleh Sa’ad Hawwa dalam kitab ”Al-Islam”nya.

    Adalah suatu ciri khas ajaran Islam seperti yang dipopulerkan oleh Dr.Yusuf Al Qardhawy dalam “Khashaish Ammah Li Dinil Islam” dan sebagaimana disimpulkan oleh John L. Esposito dalam “Islam and Development; Religion and Sociopolitical Change” adalah keyakinan bahwa agama Islam itu merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang menyeluruh. Agama yang memiliki hubungan yang integral dan organik dengan politik dan masyarakat. Ideal Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup, dimana termasuk di dalamnya tugas seorang muslim terhadap Allah [Hablun Minallah; shalat, puasa, haji, dll.] dan tugasnya terhadap sesama manusia [Hablun Minannas; hukum keluarga, hukum perdata, pidana, hukum politik, dsb.].

    Kejayaan Islam yang terukir dalam sejarah peradaban manusia tentu tidak terlepas dari peran dan sepak-terjang Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa pesan kebaikan, kebenaran, dan rahmat dari Allah SWT. Dan bukti-bukti kejayaan itu hingga kini dapat dirasakan oleh siapa saja yang bermaksud menggalinya; sejak dari peradaban umat manusia hingga warisan agama yang oleh Voltaire disebut warisan agama alami yang wajar dan tidak dibuat-buat.

    Menurut Marshall G. Hodgson, ahli sejarah [konsentrasi] peradaban Islam, sebagaimana yang dikutip Dr. Nurkholish Madjid dalam salah satu tulisannya, bahwa kesuksesan kepemimpinan Nabi Muhammad dalam menaklukkan manusia adalah demi membebaskan mereka dari belenggu kebodohan dan kegelapan dengan landasan cinta kasih, keimanan, dan niat tulus. Meskipun mengalami berbagai hambatan dan rintangan, namun dakwah dan kepemimpinan beliau begitu mudah diterima oleh umat manusia. Sehingga tak heran, dalam kurun waktu tak lebih dari 23 tahun, ajaran agama Islam dengan mudah tersebar ke penjuru dunia.

    Oleh sebab itu, adalah merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin untuk mengetahui sejarah sukses kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, baik sebagai pemimpin agama maupun sebagai pemimpin Negara, sehingga dengan begitu diharapkan mampu diterapkan dan diteladani dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam berbangsa, lebih-lebih dalam beragama.


    A- KONDISI POLITIK DAN SOSIOKULTURAL PRA-ISLAM

    Sebelum membahas eksistensi Nabi Muhammad SAW baik sebagai pemimpin Islam maupun pemimpin Negara, ada baiknya kita sedikit menoleh ke belakang, menelusuri sejarah keadaan masyarakat manusia menjelang kelahiran beliau. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sarjana arkelogi dengan banyaknya menggali dan mempelajari masalah peradaban-peradaban manusia zaman dahulu. Dan mereka sepakat menyimpulkan bahwa ternyata sejak ribuan tahun lalu, peradaban-peradaban manusia itu sudah begitu berkembang dan tersebar hingga ke pantai-pantai laut tengah dan sekitarnya di Mesir, di Asiria dan Yunani. Bahkan hingga kini pun perkembangannya tetap dikagumi dunia. Sejak dari perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang pertanian, perdagangan, peperangan, serta dalam segala bidang kegiatan manusia lainnya.

    Dalam kitab “Hayatu Muhammad” karya Muhamamad Husain Haekal disebutkan bahwa semua peradaban itu sumber dan pertumbuhannya selalu berasal dari agama, Sehingga dalam lingkungan itulah dilahirkan para Rasul yang membawa agama-agama yang kita kenal sampai saat ini. Seperti di Mesir dilahirkan Nabi Musa, dan di Palestina dilahirkan Nabi Isa.

    Ajaran-ajaran agama itu terus bertahan dan berkembang di bawah kekuasaan raja-raja kala itu. Misalnya Kerajaan Romawi yang membawa panji agama Nasrani, maka seluruh masyarakat kerajaan tersebut telah menganut agama Nabi Isa ini. Sehingga dengan demikian semakin mempermudah agama Nasrani berkembang hingga sampai ke Mesir, Syam [Suria, Libanon dan Palestina] serta Yunani, dan dari Mesir menyebar pula ke Ethiopia. Dan semua yang berada di bawah panji kerajaan Romawi dan yang ingin mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan kerajaan ini berada di bawah panji agama Masehi itu.

    Meskipun agama Masehi berada di bawah pengaruh Romawi, namun dalam waktu bersamaan agama Majusi juga tumbuh di Persia, bahkan mendapat dukungan moril dari Timur Jauh dan India, sehingga paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sangat mewarnai berbagai kerajaan kala itu. Namun mereka tetap saling menghormati kepercayaan masing-masing, dan satu sama lain tidak saling mempengaruhi kepercayaan atau peradaban, sekalipun peperangan antara mereka itu berlangsung terus menerus sampai sekian lama. Dan keadaan serupa itu terus berlangsung sampai abad ke-6 Masehi.

    Memasuki abad ke-6 Masehi berbagai permasalahan politik, keagamaan hingga budaya terus menerus mengalami kemunduran. Motivasi yang menyimpang dari para penguasa kala itu turut memperparah kondisi masyarakatnya. Masyarakat saat itu sangat mudah terpecah belah dan terkotak-kotak. Dan agama pun ikut pula terpecah belah ke dalam golongan-golongan dan sekte-sekte. Keadaan ini terus saja berlanjut hingga memasuki pertengahan abad ke-6 Masehi.

    Gambaran dunia politik menjelang pertengahan abad ke-6 sesudah Masehi, terbukti bahwa dunia berada dalam keadaan gelap dan parah dengan takhayul yang merusak kehidupan spiritual manusia. Keserakahan dan tirani telah menjarah kesejahteraan moralnya, dan penindasan telah melumpuhkan mayoritas penduduknya. Bangsa-bangsa yang dahulu pernah merdeka dan produktif peradaban-peradaban tertua di dunia, seperti Asyria, Thunisia, dan Mesir, kini tak berkutik di bawah cengkeraman serigala Romawi. Sementara peradaban Babylonia, yang menderita akibat dominasi Persia yang sama-sama tiraninya, hanya dibolehkan hidup marginal (pas-pasan), sementara semua kekayaan negerinya, tanah subur antara dua sungai (Eufrat dan Tigris) disedot untuk memenuhi perbendaharaan para kaisar Persia dan kaki tangannya. Di lingkungan Romawi, kaum elite yang memiliki banyak budak tenggelam dalam kekayaan yang luar biasa dan bebas dari pajak. Sedangkan penduduk (pribumi) yang berdominasi harus memiliki semua beban pajak; mereka terbebani secara amat berlebihan secara fisik maupun finansial.

    Sementara kondisi sosiokultural, sepeninggalan Nabi Isa, ajaran agama Allah yang dibawa dan disiarkannya makin lama makin luntur dan cahayanya makin suram. Manusia berangsur-angsur menjauhi dan menyimpang dari ajaran agama yang benar, perlahan-lahan dibawa oleh hawa nafsunya ke dalam jurang kehinaan dan kenistaan. Perikemanusiaan mengarah kepada sifat kebinatangan dan kebuasan, yang kuat menindas yang lemah, yang kaya memeras yang miskin, yang kuasa menginjak-injak yang dikuasainya, sehingga persaudaraan menjadi permusuhan, persatuan menjadi perpecahan, kesayangan menjadi kebengisan, dan penghambaan kepada Allah menjadi penghambaan kepada sesama manusia, berhala, api, binatang, kayu, dan batu. Demikianlah gambaran dunia, lima ratus tahun sesudah Nabi Isa di Eropa dan Afrika, di Persia dan Asia umumnya. Lebih-lebih di Tanah Arab pada zaman Jahiliyah, suatu zaman yang gelap gulita yang diliputi kebodohan dan keterbelakangan.


    B- KELAHIRAN MUHAMMAD BIN ABDULLAH

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan Muhammad Sulaiman Al-Mansyurfury dan astronom Mahmud Basya, sebagaimana dikutip oleh Syekh Shafiyur Rahman Al-Mubarakfury dalam Sirah Al-Nabawiyah bahwa Nabi Muhammad SAW lahir di keluarga Bani Hasyim di Makkah, pada Senin pagi, 9 Rabi’ul Awwal, permulaan tahun gajah, bertepatan 20 atau 22 April 571 M. Dalam catatan kakinya, Shafiyur Rahman menuliskan bahwa terdaptnya perbedaan mengenai tanggal bulan kelahiran Nabi SAW disebabkan perbedaan dalam kalender Masehi.

    Seperti yang telah diketahui bahwa semasa beliau masih dalam kandungan Ibunya Aminah, ayah Muhammad, Abdullah telah terlebih dahulu meninggal dunia. Dan setelah lahir, ia sempat disusui beberapa hari oleh Tsuwaibah, hamba sahaya Abu Lahab, yang kebetulan sedang menyusui anaknya bernama Masruh, yang sebelum itu wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muthallib. Setelah itu, wanita ini juga menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al-Makhzumy. Selanjutnya, Abdul Muthallib kembali mencari perempuan lain yang bisa menyusui Muhammad kecil. Dia meminta Keluarga (Bani) Sa’ad yaitu Halimah binti Abi Dhzua’ib, dengan didampingi suaminya Al-Haritsh bin Abdil Uzza yang bergelar Abu Kabsyah dari kabilah yang sama. Muhammad kecil tinggal di tengah-tengah Bani Sa’d sampai usia 4 atau 5 tahun. Dan bersama keluarga ini pula terjadi peristiwa pembedahan terhadap diri Muhammad oleh Malaikat Jibril.

    Ketika menginjak usia 6 tahun, ibunya Aminah meninggal dunia. Selanjutnya ia diasuh oleh kakeknya Abdul Muthallib. Tepat diusia 8 tahun sang kakek juga meninggal, dan ia pun harus diasuh oleh pamannya Abu Thalib. Lantaran kondisi ekonomi pamannya yang memprihatinkan, Muhammad kecil terpaksa harus mengembalakan kambing keluarga dan penduduk Makkah dengan imbalan beberapa dinar.

    Memasuki usia 25 tahun, Muhammad berdagang ke Syam membawa barang-barang milik Khadijah binti Khuwailid, perempuan terpandang, pedagang kaya raya yang berasal dari Bani Asad. Khadijah mendengar akhlak mulia tentang kepribadian Muhammad, maka dia meminta Muhammad untuk menjalankan daganggnya ke negeri Syam. Bahkan Khadijah siap member imabalan lebih daripada pekerja lainnya. Muhammad pun menerima tawaran tersebut dan pergi didampingi seorang pembantu bernama Maisarah. Dan tak berapa lama setelah itu Muhammad akhirnya menikah dengan Khodijah sendiri. Acara pernikahan terjadi 2 bulan sepulangnya Muhammad dari Syam.


    C- NABI MUHAMMAD SAW SEBAGAI PEMIMPIN AGAMA

    Salah satu kegiatan yang paling digemari Muhammad hingga menginjak usia 40 tahun adalah mengasingkan diri. Dengan hanya berbekal roti dan air, beliau pergi ke gua Hira, tempatnya berada di Jabal Nur. Di tempat inilah wahyu pertama kali terjadi, yakni pada hari senin malam tanggal 21 Ramadhan, bertepatan dengan 10 Agustus 610 M. Pada saat itu usia beliau masih genap 40 tahun lebih 6 bulan 12 hari menurut perhitungan kalender Hijriyah, atau 39 tahun lebih 3 bulan 20 hari menurut perhitungan kalender Masehi.

    Pada saat Muhammad lahir hingga ketika diangkat menjadi Rasul, beliau SAW tinggal di tengah-tengah kaum Quraisy Makkah yang memiliki daerah merdeka mirip-mirip sebuah republik (sekarang ini). Mereka sangat jauh dari pertentangan politik. Dan struktur republik yang sudah ada di Makkah (saat itu) benar-benar menghindari mereka dari suatu kekacauan. Sehingga, pada awal Nabi Muhammad SAW diutus di tengah-tengah mereka, tujuan utama dakwah Rasulullah bukan untuk menguasai tampuk kepemimpinan Negara, namun dasarnya adalah mengajak mereka kepada kebenaran, kebaikan, dan keindahan; suatu ajakan yang berdiri sendiri di bawah naungan agama Islam.

    Namun meski begitu, Makkah juga merupakan pusat kegiatan keagamaan bangsa Arab. Di sana para penduduk Makkah melakukan berbagai peribadatan di sekeliling  Ka’bah dengan penyembahan terhadap berhala dan patung-patung yang disucikan seluruh bangsa Arab kala itu. Dengan kondisi seperti ini, tidak mudah bagi Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan wahyu ke seluruh umat kala itu. Untuk menghadapi kondisi seperti ini,  maka pola penyebaran dakwah Islam yang dilakukan Rasulullah dengan cara tiga tahap sesuai situasi dan kondisi yang menyertainya kala itu, yakni: tahap rahasia dan perorangan, tahap terang-terangan, dan tahap untuk umum.


    a. Tahap rahasia dan perorangan
    Pada awal turunnya wahyu pertama, pola dakwah yang dilakukan adalah secara sembunyi-sembunyi, mengingat kondisi sosiopolitik yang belum stabil, dimulai dari dirinya sendiri dan keluarga dekatnya. Mula-mula Rasulullah menyampaikan risalah ilahi kepada istrinya Khadijah, kemudian diikuti oleh anak angkatnya Ali bin Abi Thalib dan Zaid bin Haritsah. Setelah itu sahabat dekatnya Abu Bakar bin Abi Quhafa yang diikuti oleh Utsman bin Affan, Abdullah bin Auf, Thalha bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Zubair bin Awwam. Adalagi Abu Ubaida bin Al Djarrah, Arqam ibn Arqam, Fatimah binti Khattab, Said bin Zaid dan beberapa orang lainnya. Mereka inilah dalam sejarah Islam disebut dengan Assabiqunal Awwalun.


    b. Tahap terang-terangan
    Dakwah secara sembunyi-sembunyi berlangsung selama tiga tahun, sampai turun wahyu berikutnya yang memerintahkan dakwah secara terbuka dan terang-terangan. Ketika wahyu tersebut turun, beliau mengundang keluarga dekatnya untuk berkumpul di Bukit Shafa, menyerukan masyarakat Quraisy untuk mengimani keesaan Allah SWT. Perintah dakwah secara terang-terangan dilakukan oleh Rasulullah seiring dengan jumlah sahabat yang semakin banyak dan untuk meningkatkan jangkauan seruan dakwah, karena diyakini dengan dakwah tersebut, banyak kaum Quraisy yang akan masuk Islam.


    c. Tahap untuk umum
    Hasil seruan dakwah secara terang-terangan yang terfokus kepada keluarga dekat dan kaum sekitar, kelihatannya belum maksimal sesuai dengan apa yang diharapkan. Maka, Rasulullah mengubah strategi dakwahnya yang lebih luas mencakup uman manusia secara keseluruan. Seruan dalam skala internasional tersebut, didasarkan kepada perintah Allah dalam QS. Al Hijr: 94-95.  Sebagai tindak lanjut dari perintah tersebut, pada musim haji Rasulullah mendatangi kemah-kemah para jamaah haji. Pada awalnya tidak banyak yang menerima, kecuali sekelompok jamaah haji dari Yatsrib, kabilah Khazraj, yang menerima dakwah secara antusias. Dari sinilah sinar Islam memancar ke luar Mekkah.

    1) Problematika Dalam Dakwah Rasulullah SAW
    Sebenarnya, posisi Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah penduduk Makkah begitu mulia. Selain lantaran semasa hidupnya dikenal cerdas, jujur, dan lemah lembut, dia juga memiliki silsilah keturunan yang menempati puncak yang tinggi. Beliau dari keluarga Hasyim, juru kunci ka’bah dan penguasa urusan air penduduk Makkah. Gelar-gelar keagamaan yang tinggi-tinggi ada pada mereka. Walau begitu bukan berarti beliau terbebas dari gangguan dan ancaman selama menjalankan misi dakwah islamiyahnya.

    Berbagai ancaman, gangguan dan hinaan yang datang bertubi-tubi dari kaum kuffar dan musyrikin seakan mewarnai perjalanan dakwahnya bersama kaum muslimin. Para bangsawan Quraisy dan hartawan yang gemar bersenang-senang mulai merasakan bahwa ajaran Muhamamad merupakan bahaya besar bagi kedudukan mereka. Jadi yang mula-mula mereka lakukan ialah menyerangnya dengan cara mendeskreditkannya dan mendustakan segala apa yang dinamakannya kenabian itu. Mereka melakukan berbagai propaganda untuk menghentikan kegiatan Nabi Muhammad dan kaum muslimin yang terus bertambah, seperti melakukan penghujatan, caci-maki, pemboikotan, dan sebagainya. Namun karena Muhammad selalu dalam perlindungan Bani Hasyim dan Bani Al Muthallib, ditambah lagi dengan keislaman Hamzah bin Abi Thalib, paman dan saudara sesusu Nabi yang setia melindunginya, membuat pemuka-pemuka Quraisy itu berfikir dua kali untuk membunuh Nabi Muhammad. Apalagi beberapa waktu kemudian, seorang tokoh andalan kafir Quraisy, Umar bin Khattab yang juga masuk Islam, maka semakin bertambah lemahlah pengaruh Quraisy kala itu.

    Namun kaum musyrikin Quraisy tak pernah tinggal diam, hari demi hari gangguan itu makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada kaum muslimin yang dibunuh, disiksa, dan semacamnya. Maka strategi Muhammad menyelamatkan umatnya adalah dengan menyarankan mereka supaya tinggal berpencar-pencar. Sebagian mereka disuruh hijrah ke Abisinia yang rakyatnya menganut agama Kristen, dan diperintah oleh seorang Raja yang jujur. Dalam sejarah tercatat bahwa kaum muslimin telah melakukan dua kali hijrah ke negeri tersebut. Bahkan sebagiannya malah ada yang bermukim di sana sampai sesudah hijrah Nabi ke Yatsrib.

    Ketika pamannya Abu Thalib meninggal, hubungan Nabi Muhammad dengan pihak Quraisy lebih buruk lagi dari yang sudah-sudah. Lalu disusul pula dengan kematian Khadijah yang menjadi sandaran Muhammad, membuat beliau begitu terpukul dan berduka. Pihak Quraisy sepertinya sudah tidak terlalu segan lagi untuk membunuh Nabi Muhammad SAW bila ada kesempatan. Dan dengan alasan ini pulalah beberapa tahun setelah kematian Paman dan Istrinya itu membuat Rasulullah memutuskan untuk melakukan hijrah ke Yastrib, dimana sebelumnya dakwah Nabi SAW telah sampai di sana dan diterima oleh sebagian penduduknya dengan baik. Dan dari tanah Yatsrib ini pulalah kejayaan Islam memasuki babak baru.


    2) Rahasia Kesuksesan Dakwah Nabi Muhammad SAW
    Kesuksesan dakwah Rasulullah SAW tidak terlepas dari metode dan strategi dakwah  yang beliau terapkan secara sistematis dan terprogram. Adapun di antara strategi sukses dakwah islamiyah beliau di tengah-tengah umat akan penulis rangkumkan sebagai berikut:

    Sebagai langkah persiapan, beliau membangun public-image yang positif dari sisi personalitas dan akhlaknya. Dalam hal ini, sejak awal beliau telah mampu menyadang predikat “al-amin”.
    Sebagai langkah awal dakwahnya, Rasulullah melakukan dakwah dengan rahasia dan memilih objek dakwah yang paling dekat dengan beliau, seperti istri, keluarga dan para sahabat dekatnya yang dapat dipercaya.

    Setelah ada perintah dakwah secara terang-terangan, beliau langsung melakukan dakwah secara terbuka dan mengambil langkah strategis dengan menggunakan media gunung shofa untuk mengumpulkan masyarakat dengan memanfaatkan kesan publik akan kejujurannya untuk memasukkan pesan dakwahnya kepada mereka dan besarnya kasih sayang Abu Tholib kepada beliau sebagai langkah defensive.

    Rasulullah juga mengembangkan sikap “Umat Oriented“, artinya lebih mementingkan keselamatan umatnya di atas dirinya.

    Setelah hijrah ke Madinah; langkah pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid sebagai tempat ibadah dan media mengumpulkan pengikutnya serta bermusyawarah tentang rencana perjuangan berikutnya. Langkah kedua, dengan ikatan persaudaraan antarumat Islam beliau mantapkan dengan meletakkannya atas satu landasan, yaitu Islam (bukan etnis, stratta sosial dan sebagainya).

    Setelah itu, barulah beliau membangun politik kenegaraan yang dimulai dengan terciptanya Perjanjian Madinah dan beliau sendiri sebagai Kepala Negara.

    Di samping itu, ada beberapa hal yang menjadi modal kesuksesan utama dalam berdakwah sehingga mudah diterima oleh segala lapisan masyarakat yang mendambakan kebenaran dan ketentraman, di antaranya adalah: (a) meletakkan dasar keimanan yang kokoh; (b) menciptakan keteladanan yang baik seperti yang dilukiskan Al Qur’an; (c) menetapkan persamaan derajat manusia dengan mengangkat harkat dan martabat mereka di atas azaz toleransi; (d) menjadikan ukhuwah islamiyah sebagai tiang kebudayaan; (e) pembinaan sistem akhlakul karimah dan pendidikan dalam menjalani kehidupan; (f) menegakkan secara bersama-sama syari’at Islam menuju muslim kaffah.


    D- PRAKTIK KENEGARAAN PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW
    Meski agama Islam lahir di tanah Makkah, namun doktrin-doktrin wahyu ilahi yang disampaikan oleh Nabi Muhammad belum begitu efektif berjalan di tengah-tengah hegemoni politik dan ekonomi kaum aristoktrat Quraisy. Pengikut Muhammad pada periode Makkah sebagian besar hanya terdiri dari orang-orang yang tertindas dan mengamalami ketidakadilan dalam tatanan masyarakat kala itu. Sehingga tak heran mereka masih minoritas dan belum dapat tampil sebagai komunitas yang membongkar tatanan masyarakat Qurasiy Makkah yang timpang tersebut.

    Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi di kalangan masyarakat Madinah pasca peristiwa hijrahnya Muhammad bersama pengikut-pengikutnya ke Madinah pada 622 Masehi. Keberadaan Nabi dan ajaran agama baru yang dibawanya sudah mendapat tempat dan simpati. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa Bai’ah al-‘Aqabah setahun sebelum beliau hijrah.

    Dalam peristiwa Bai’ah al-“Aqabah tersebut, sebanyak 12 orang penduduk Yastrib (nama kota Madinah sebelum diganti), pada musim haji menyatakan keislamannya. Dalam bai’ah tersebut, mereka menyatakan bahwa mereka hanya akan menyembah Allah, meninggalkan segala perbuatan jahat dan menaati Nabi Muhammad. Kedua belas orang penduduk tersebut menurut catatan Ibn Hisyam, sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Iqbal adalah: (1) As’ad ibn Zura’ah, (2) ‘Awf ibn Harts, (3) Mu’adz ibn Harts, (ketiganya berasal dari Bani Najjar), (4) ‘Ubadah ibn Shamit, dan (7) Yazid ibn Tsa’labah, (keduanya dari Bani ‘Awf), (8) ‘Abbas ibn ‘Ubadah dari Bani Salim, (9)’Uqabah ibn ‘Amir, (10) Quthbah ibn ‘Amir, (kedua bersaudara ini berasal dari Bani Salamah), (11) Malik Abu al-Haitsam ibn al-Taihan dari Bani ‘Abd al-Asykal, serta (12) ‘Uwain ibn Sa’idah dari Bani ‘Amr ibn ‘Awf. (Lihat Ibn Hisyam, Sirah al-Nabi, Juz II, Beirut: Darul Fikri, hal. 40-41).

    Pada tahun berikutnya, sebanyak 73 orang Yatsrib yang sudah memeluk Islam datang kembali ke Makkah mempertegas pengakuan keislaman mereka dan pembelaan kepada Nabi Muhammad. Dalam kesempatan ini mereka mengajak Nabi untuk berhijrah ke Madinah yang selanjutnya dikenal dengan Bai’ah al-‘Aqabah kedua.

    Dua peristiwa bersejarah inilah yang mengubah arah perjalanan Nabi Muhammad dan pengikutnya dari kelompok tertindas menjadi kekuatan politik yang kokoh, solid dan disegani. Kedua peristiwa ini juga merupakan titik awal bagi Nabi Muhammad untuk mendirikan Negara Madinah. Di kota yang baru ini Nabi Muhammad baru bisa secara efektif menerapkan dimensi sosial ajaran Islam untuk menciptakan masyarakat yang berbudaya. Hal ini ditopang sepenuhnya oleh dukungan penduduk Madinah sendiri yang terdiri dari suku Aus dan Khazraj.

    Dari masyarakat ini kemudian Nabi Muhammad menciptakan suatu kekuatan sosial-politik dalam sebuah Negara Madinah. Maka langkah pertama yang dilakukan Rasulullah adalah membangun masjid beserta bangunan tempat tinggalnya di sekitar masjid tersebut serta beberapa tempat tinggal kaum muslimin, terutama bagi fakir miskin yang tidak punya tempat tinggal. Hal lain yang tak kalah pentingnya dilakukan oleh Nabi Muhammad di Madinah dalam rangka pembentukan sebuah Negara adalah membuat PIAGAM MADINAH pada tahun Pertama Hijriyah. Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat peraturan-peraturan dan hubungan antara berbagai komunitas dalam masyarakat Madinah yang majemuk, dimana bergabung di dalamnya 3 kelompok masyarakat, yaitu umat Islam sendiri (baik Muhajirin dan Ansyhar); orang-orang Yahudi (dari suku Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa’; dan sisanya suku Arab yang masih menyembah berhala (poluteisme).


    E- BENTUK NEGARA YANG DIDIRIKAN NABI MUHAMMAD SAW

    Negara Madinah dapat dikatakan sebagai Negara dalam pengertian yang sesungguhnya, karena telah memenuhi syarat-syarat pokok pendirian suatu Negara; yaitu wilayah, rakyat, pemerintah dan undang-undang dasar. Menurut Munawir Sjadzali dalam bukunya “Islam dan Tata Negara Ajaran Sejarah dan Pemikiran” sebagaimana dikutip oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya “Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam” bahwa Piagam Madinah sebagai konstitusi Negara Madinah memberi landasan bagi kehidupan bernegara dalam masyarakat yang majemuk di Madinah.

    Landasan tersebut adalah:

    semua umat Islam adalah satu kesatuan, walaupun berasal dari berbagai suku dan golongan;
    hubungan intern komunitas muslim dan hubungan ekstern antara komunitas muslim dengan non-muslim didasarkan pada prinsip bertetangga baik, saling membantu menghadapi musuh bersama, membela orang yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.

    Terwujudnya Piagam Madinah merupakan bukti sifat kenegaraan Muhammad. Beliau tidak hanya mementingkan umat Islam, tetapi juga mengakomodasi kepentngan orang-orang Yahudi dan mempesatukan kedua umat serumpun ini di bawah kepemimpinannya. Bagi umat Islam, Nabi Muhammad berhasil menciptakan persatuan dan kesatuan serta persaudaraan di antara kaum muhajirin dan anshar, juga antara suku-suku di kalangan anshar sendiri. Di kalangan anshar, Nabi diakui telah merekat kembali hubungan antarsuku yang sebelumnya selalu  bermusuhan.

    Terhadap orang Yahudi, Nabi membangun persahabatan dan menghormati keberadaan mereka. Karena bagaimanapun, kaum Yahudi adalah penduduk Madinah juga yang telah tinggal sejak abad pertama dan kedua Masehi, jauh sebelum Nabi berhijrah ke sini. Sehingga tak heran bila kaum Yahudi diberikan kebebasan untuk menjalankan agama mereka. Ditambah lagi kaum Yahudi pun mengakui kepemimpinan Nabi Muhammad. Hal ini tercermin dari kesediaan mereka untuk meminta putusan atas berbagai perkara kepada Nabi Muhammad SAW.

    Di dalam menjalankan roda pemerintahan sebagai kepala negara dalam  arti yang sesungguhnya, Nabi Muhammad dibantu oleh para sahabat dalam melindungi dan mengayomi rakyatnya. Termasuk melakukan berbagai diplomasi politik di luar negeri. Nabi SAW selaku penerima kekuasaan senantiasa melindungi rakyatnya, memenuhi kebutuhan mereka dan membawa mereka ke dalam kesejahteraan. Adapun acuan yang diterapkan Nabi SAW dalam perannya sebagai kepala Negara Madinah adalah berdasarkan perjanjian yang ada dalam konteks bai’ah al-‘aqabah, di mana dalam perjanjian tersebut ada hak dan kewajiban secara berimbang antara kedua belah pihak.

    Dalam praktiknya, Nabi Muhammad menjalankan pemerintahan yang tidak terpusat di tangan beliau. Untuk mengambil suatu keputusan politik, misalnya, dalam beberapa kasus Nabi melakukan konsultasi dengan pemuka-pemuka masyarakat. Ada 4 (empat) cara yang ditempuh Nabi dalam mengambil keputusan politik, yaitu:

    Mengadakan musyawarah dengan sahabat senior. Dalam konteks ini misalnya bagaimana Nabi dengan sahabat senior bermusyawarah mengenai tawanan Perang Badar. Abu Bakar meminta agar tawanan tersebut dibebaskan dengan syarat meminta tebusan dari mereka, sedangkan Umar menyarankan supaya mereka dibunuh saja.
    Meminta pertimbangan kalangan profesional. Dalam hal ini misalnya, Nabi menerima usulan Salman al-Farisi untuk membuat benteng pertahanan dalam perang Ahzab menghadapi tentara Quraisy dan sekutu-sekutunya dengan menggali parit-parit di sekitar Madinah.
    Melemparkan masalah-masalah tertentu yang biasanya berdampak luas bagi masyarakat ke dalam forum yang lebih besar. Untuk hal ini dapat dilihat pada musyawarah Nabi dengan sahabat tentang strategi perang dalam rangka menghadapi kaum Quraisy Mekkah di Perang Uhud.
    Mengambil keputusan sendiri. Ada beberapa masalah politik yang langsung diputuskan Nabi dan mengesampingkan keberatan-keberatan para sahabat, seperti yang terjadi dalam menghadapi delegasi Quraisy ketika ratifikasi Perjanjian Hudaibiyah.

    Dalam menjalankan roda pemerintahan Negara Madinah, nampaknya Nabi Muhammad tidak memisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Di bawah naungan wahyu Al Qur’an, beliau menyampaikan ketentuan-ketentuan Allah tersebut kepada masyarakat Madinah. Sehingga tak heran, banyak kebijakan negara yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dalam menjalankan roda pemerintahan agar tetap stabil, di antaranya:

    Menciptakan persatuan dan kesatuan di antara komponen masyarakat negara Madinah.
    Untuk mengadili pelanggaran ketertiban umum, Nabi membentuk lembaga hisbah, yang antara lain bertugas mengadakan penertiban terhadap perdagangan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang dilakukan pedagang di pasar.
    Untuk pemerintahan di daerah, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai gubernur atau hakim.
    Mengangkat beberapa orang sahabat sebagai sekretaris negara.
    Menjalankan hubungan diplomatik dengan negara-negara luar.
    Mengangkat duta-duta ke negara-negara sahabat. Tercatat dalam sejarah bahwa pada tahun ke-2 hijrah, Muhammad mengangkat Amr ibn Umasyh al-Damari sebagai duta Islam ke Abbesinia. Ketika itu Umasyh masih belum masuk Islam.

    Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Nabi SAW menegaskan kita bahwa beliau telah menjalankan perannya sebagai kepala Negara dengan baik. Semua yang dilakukannya terhadap umat kala itu merupakan tugas-tugas seorang sebagai kepala negara dalam pengertian modern saat ini. Sehingga kita sangat sulit menerima jika ada yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad hanyalah ditugaskan untuk menjalankan misinya sebagai Rasul Allah, penyampai wahyu, bukan pemimpin negara. Dan selain sebagai seorang Rasul dan Negarawan, beliau juga menjadi jenderal dan penakluk yang handal. Semua itu demi Allah, demi misi kebenaran, yang oleh karenanya ia diutus. Dalam hal ini semua, sebenarnya dia adalah orang besar, lambang kesempurnaan insani par excellence dalam arti kata yang sebenarnya.


    F- KEMAJUAN YANG DICAPAI NABI MUHAMMAD SAW

    Berikut ini akan penulis sampaikan berbagai jasa dan kemajuan yang dicapai oleh Nabi Muhammad SAW yang telah dirasakan oleh umat manusia, baik pada zamannya maupun sesudahnya hingga pada akhir zaman kelak.

    1) Dalam Bidang Agama

    Tidak banyak waktu yang diperlukan Muhammad dalam menyampaikan ajaran agama, dalam menyebarkan panjinya ke penjuru dunia. Sebelum wafatnya, Allah telah menyempurnakan agama ini bagi kaum muslimin. Dalam pada waktu itu pun telah meletakkan landasan penyebaran agama itu; dikirimnya misi kepada Kisra (Gelar raja-raja Sasani), kepada Heraklius dan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa lain supaya mereka sudi menerima Islam.

    Tak sampai seratus lima puluh tahun sesudah itu, bendera Islam pun sudah berkibar sampai ke Andalusia di Eropa sebelah barat, ke India, Turkestan, sampai ke Tiongkok di Asia Timur, juga telah sampai ke Syam [meliputi Suria, Libanon, Yordania dan Palestina sekarang], Irak, Persia dan Afganistan, yang semuanya sudah menerima Islam. Selanjutnya negeri-negeri Arab dan kerajaan Arab, sampai ke Mesir, Sirenaika, Tunisia, Aljazair, Marokko, telah dicapai oleh misi Muhammad SAW.

    Dan sejak waktu itu sampai masa kita sekarang ini panji-panji Islam tetap berkibar di semua daerah itu, kecuali Spanyol yang kemudian diserang oleh Kristen dan penduduknya disiksa dengan bermacam-macam cara kekerasan. Tidak tahan lagi mereka hidup. Ada di antara mereka yang kembali ke Afrika, ada pula yang karena takut dan ancaman berbalik agama berpindah dari agama asalnya kepada agama kaum tiran yang menyiksanya.

    Hanya saja apa yang telah diderita Islam di Andalusia sebelah barat Eropa itu ada juga gantinya tatkala kaum Utsmani (Turki) memasukkan dan memperkuat agama Muhammad di Konstantinopel. Dari sanalah ajaran Islam itu kemudian menyebar ke Balkan, dan memercik pula sinarnya sampai ke Rusia dan Polandia sehingga berkibarnya panji-panji Islam itu berlipat ganda luasnya daripada yang di Spanyol.

    Sejak dari semula Islam tersebar hingga masa kita sekarang ini  memang belum ada agama-agama lain yang dapat mengalahkannya. Dan kalaupun ada di antara umat Islam yang ditaklukkan, itu hanya karena adanya berbagai macaam kekerasan, kekejaman dan despotisma, yang sebenarnya malah menambah kekuaatan iman mereka kepada Allah, kepada hukum Islam, dengan memohonkan rahmat dan ampunan daripada-Nya.

    2) Dalam Bidang Pemerintahan

    Sebagai seorang negarawan dan pemimpin umat, Rasulullah SAW telah berhasil menciptakan roda pemerintahan Islam di bawah satu naungan kepemimpinan Islam. Setelah Rasulullah wafat, kaum muslimin melanjutkan system ini dengan memilih penggantinya. Pengganti Rasulullah dalam memerintah Negara Islam disebut Khalifah yang bertugas menegakkan syari’at Allah, memimpin kaum muslimin untuk menyempurnakan penyebaran syari’at ini dan memberlakukan kepada seluruh kaum muslimin secara adil dan bijaksana. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muslimin adalah manusia yang diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk mengatur bumi ini.

    Allah SWT berfirman:

    وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى اْلأَرْضِ …
    Artinya: “Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi …” (QS. An Nur: 55)

    Atas dasar konsep tersebut maka Allah memberikan hak kepada kaum muslimin untuk menjadikan seluruh bumi ini sebagai tanah airnya. Dan seluruh kaum muslimin berkewajian mengambil hak tersebut.

    Dan dalam keadaan apapun, kaum muslimin tidak boleh mengalami kekosongan Khalifah atau Imam. Keberadaannya merupakan lambang kesatuan kaum muslimin. Kesatuan kaum muslimin adalah lambang kekuatannya. Sedangkan kekuatan kaum muslimin adalah jalan mereka mewujudkan kekuasaan Allah di atas bumi dan memperbaiki kerusakannya.

    Kaum muslimin selain diwajibkan memberikan loyalitas dan ketaatan kepada pemimpinnya, mereka juga diwajibkan menjalankan berbagai sistem yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah SAW selama masa kepemimpinannya, antara lain:

    1-  Sistem Pemerintahan

    Sesuai dengan naskh-naskh yang dibawa oleh Rasulullah berdasarkan firman-firman Allah SWT, maka oleh ulama Islam telah menjabarkan konsep pemerintahan Islam tersebut sesuai dengan kondisi yang berlaku pada setiap zamannya. Dalam kitab Al Islam karya Sa’id Hawwa, beliau menjelaskan bahwa pemerintahan Islam itu terbagi menjadi dua, yaitu Darul Islam dan Darul Harb.  Darul Islam ialah Negeri yang diperintahkan dengan pemerintah Islam dan dipimpin oleh kaum muslimin. Sedangkan Darul Harb ialah negeri yang tidak tunduk pada pemerintahan Islam dan kaum muslimin. Dan tanah air muslim ialah Darul Islam, dimanapun letaknya dan apapun rasnya, tetapi terikat dengan akidah yang diimaninya.

    Adapun yang termasuk ke dalam golongan Darul Islam tersebut adalah:

    Darul ‘Adl, yaitu negeri yang menegakkan Islam secara utuh dan memelihara sunnah Rasulullah. Negara ini dikepalai oleh seorang Khalifah.
    Darul Bahy, yaitu satu Negara yang dikuasai para pemberontak terhadap Imam yang hak, sekalipun diberlakukan hukum Islam.
    Darul Bid’ah, yaitu negeri yang dikuasai dan diperintah para ahli bid’ah dan menegakkan bid’ahnya.
    Darul Riddah, yaitu Negara yang penduduknya telah murtad dan diperintah oleh orang-orang murtad, atau yang semula muslimin, kemudian membatalkan perjanjiannya secara sepihak serta menguasai Negara tersebut.
    Darul Maslubah, yaitu Negara yang dirampas dan diduduki orang kafir, yang pada mulanya Negara tersebut bagian dari Darul Islam.
    Sementara Darul Harb digolongkan menjadi:

    1)      Darul Harb yang mengikat satu perjanjian, atau disebut juga Darul ‘Ahdi.

    2)      Darul Harb yang sama sekali tidak ada ikatan perjanjian.

    2- Sistem Bermasyarakat

    Rasulullah SAW dalam menjalankan pemerintahan selalu mengutamakan kepentingan umat di atas kepentingan yang lain. Azaz keadilan, kebebasan dan perdamain selalu diutamakan dalam menjalani system hidup bermasyarakat. Dan untuk mengokohkan masyarakat Islam, Rasulullah SAW telah melakukan berbagai hal yang mencakup:

    Persatuan dan kesatuan umat dibawah naungan Aqidah yang benar.
    Menciptakan system ekonomi yang kuat
    Melahirkan system pendidikan dan informasi yang menyeluruh
    Memperkuat system militer untuk mempertahankan Negara dan mengamankan rakyat.
    Menetapkan Syariat dan Undang-Undang bagi masyarakat untuk menciptakan keadilan.

    Dan di antara pilar kekuatan umat Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah adalah tasyri’ atau qanun (hukum dan perundang-undangan) yang bersumber pada syari’at (tuntunan) ilahi dan memutuskan perkara dengannya. Syari’at adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan yang Islam dalam arti yang hakiki sesuai dengan Al Qur’an dan As-Sunnah.

    Sebuah masyarakat tidak bisa dikatakan sebagai masyarakat Islam kecuali apabila menerapkan syari’at ilahi dan merujuk kepadanya dalam seluruh aspek kehidupannya, baik yang bersifat ibadah (ritual) maupun muamalah (sosial). Sementara hukum dan undang-undang tadi merupakan salah satu kekuasaan utama bagi masyarakat Islam tersebut.


    G- P E N U T U P
    Nabi Muhammad SAW wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal pada usianya yang ke-63 tahun, sementara upacara pemakamannya baru dilakukan oleh kaum muslimin dua hari kemudian. Beliau SAW pergi meninggalkan dunia tidak meninggalkan apapun berupa harta. Ia pergi meninggalkan dunia sama seperti ketika ia datang. Namun sebagai peninggalan, ia telah memberikan agama yang lurus kepada umat manusia. Ia telah merintis jalan kebudayaan Islam yang maha besar, yang telah menaungi dunia sebelumnya, dan akan menaungi dunia kemudian. Dia telah menanamkan ajaran tauhid, menempatkan ajaran Tuhan yang tinggi di atas ajaran orang-orang kafir yang rendah di bawah. Kehidupan paganisme dalam segala bentuk dan penampilannya telah dikikis habis. Manusia sekarang diajak melakukan perbuatan yang baik dan taqwa, bukan perbuatan dosa dan permusuhan. Kemudian ia juga meninggalkan kitabullah buat manusia, sebagai rahmat dan petunjuk. Ia meninggalkan teladan yang tinggi, contoh nan indah. Ia benar-benar telah meninggalkan dunia ini dengan meninggalkan warisan rohani yang agung, yang selalu memancar di semesta dunia ini. Allah SWT telah menyempurnakan agama-Nya dan akan menolong agama-Nya di atas semua agama, meskipun musuh-musuh Islam tidak mengakuinya. (Oleh: Indra Laksamana Muda )

    Wallahu a’lam.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Palestina

    +