Presiden Turki, Reyyep Tayyip Erdogan
TARGET yang dimaksudkan dari aliansi ‘Israel’-Uni Emirat Arab (UEA) bukanlah Iran melainkan Turki, yang pengaruh regionalnya menjadi ancaman bagi para penguasa Teluk, kata David Hearst, pemimpin redaksi Middle East Eye.
Dalam sebuah artikel yang dirilis pada pekan lalu berjudul – Sebuah pesan baru bergema di dunia Arab: Tangkap Ankara – Hearst menulis: Israel telah mengatakan selama beberapa waktu kepada para diplomat Arab bahwa mereka tidak lagi menganggap Iran sebagai ancaman militer. Kepala Mossad, Yossi Cohen, mengatakan kepada para pejabat Arab bahwa Iran “bisa dikendalikan”.
Penyerang asing baru yang mengancam dunia Arab bukanlah Persia, atau bahkan Rusia – tetapi Turki seperti yang tercermin dalam pidato di konferensi virtual Liga Arab di Kairo pada hari Rabu yang mendukung hubungan UEA-‘Israel’ dengan menolak seruan untuk mengutuk kesepakatan normalisasi.
Pada pertemuan virtual Menteri Luar Negeri Liga Arab, Menlu UEA Anwar Gargash mengatakan: “Campur tangan Turki dalam urusan dalam negeri negara-negara Arab adalah contoh nyata dari campur tangan negatif di kawasan itu.” Gargash menuduh Turki mengancam keamanan dan keselamatan lalu lintas maritim di perairan Mediterania, yang jelas melanggar hukum dan piagam internasional yang relevan serta kedaulatan negara.
Setelah Gargash, Menlu Mesir Sameh Shoukry, yang mengatakan bahwa intervensi Turki di banyak negara Arab merupakan ancaman paling penting bagi keamanan nasional Arab. “Mesir tidak akan berdiam diri dalam menghadapi ambisi Turki yang terwujud di Irak utara, Suriah dan Libya pada khususnya,” katanya.
Ahmed Abu Al Ghait, Sekretaris Jenderal Liga Arab, mengatakan: “Periode terakhir menyaksikan tumbuhnya intimidasi dan permusuhan oleh kekuatan regional terhadap wilayah Arab kita, dan peningkatan campur tangan dalam urusan negara-negara Arab kita oleh dua negara tetangga, yaitu Iran dan Turki.”
Adapun Turki, menurut Abu Al Ghait, terus menduduki sebagian besar wilayah Suriah, dan memulai serangannya di tanah Irak dan baru-baru ini, ia terjun ke dalam perang saudara Libya dengan intervensi militer langsung. Abu Al Ghait mengatakan Liga Arab mengikuti situasi di Libya dengan sangat prihatin, dan berharap pihak Libya akan mencapai kesepakatan permanen dan gencatan senjata yang komprehensif.
Pernyataan-pernyataan yang memusuhi Turki pada pekan lalu itu tidak luput dari perhatian Ankara, Hearst mengatakan dan mengutip sumber tidak bernama Turki yang mengatakan: “UEA telah melakukan tugas untuk mengisolasi Turki dalam tingkat operasional… Mereka telah membiayainya. Namun, pendukung sebenarnya dari strategi ini adalah ‘Israel’ dan beberapa politisi AS yang dekat dengan lobi pro-‘Israel’. Mereka telah menjadi bagian dari setiap upaya untuk membentuk aliansi melawan Turki. Mereka telah mendukung UEA untuk kepentingan aliansi Zionis dan Evangelis, terutama sebelum pemilihan presiden di bulan November yang dapat membawa dukungan elektoral untuk kantor mereka.”
Jordan Times
Jordan Times, media resmi kerajaan Yordania, menerbitkan sebuah artikel pada bulan Juli yang mengatakan: “Pasukan Turki dan milisi yang didukung Ankara aktif di tiga negara Arab: Libya, Suriah dan Irak. Ini adalah kenyataan geopolitik bahwa dunia Arab, juga sebagai komunitas internasional, harus mengakui dan bereaksi.
“Faktanya, ambisi teritorial, politik dan ekonomi Turki di negara-negara ini dan sekitarnya diperlihatkan oleh para pemimpin Turki termasuk Presiden Recep Tayyip Erdogan.
“Turki sekarang memiliki pangkalan militer di Qatar, Libya, Somalia, Siprus Utara, Suriah dan Irak; dan tidak semua dengan persetujuan pemerintah yang sah.”
Sangat meresahkan bahwa negara-negara Arab telah memihak daripada bekerja sama untuk menghentikan intervensi asing dalam urusan dalam negeri mereka. Dikhawatirkan pelanggaran terhadap negara-negara Arab ini akan menyebabkan keretakan lebih lanjut dalam hubungan intra-Arab yang membuka jalan bagi dominasi asing jangka panjang, Jordan Times menyimpulkan.
Koneksi Prancis
Ada aktor asing lain dalam dorongan untuk menyatakan Turki sebagai penjahat baru Mediterania Timur, tunjuk Hearst:
Peran militer Prancis dalam mendukung jenderal militer era Gaddafi, Khalifa Haftar, dalam upayanya yang penuh kejahatan perang untuk merebut ibu kota Libya didokumentasikan dengan baik seperti penggunaan pesawat Emirat dan penembak jitu Rusia. Namun, baru-baru ini, selama kunjungan ke Beirut, Presiden Emmanuel Macron telah semakin melebarkan sayap retorika Prancis.
Pada perjalanan pertama dari dua perjalanan ke ibu kota Lebanon yang hancur, Macron mengatakan: “Jika Prancis tidak memainkan perannya, Iran, Turki dan Saudi akan mencampuri urusan dalam negeri Lebanon, yang kepentingan ekonomi dan geopolitiknya kemungkinan besar akan merugikan orang Lebanon.”
Sementara itu, kapal perang Prancis telah mengadakan latihan bersama dengan kapal Yunani di tengah sengketa pengeboran minyak di lepas pantai Siprus, yang diklaim Turki melanggar perbatasan maritimnya.
Macron menegaskan bahwa perselisihannya bukan dengan Turki, tetapi dengan Erdogan. Taktik ini telah dicoba sebelumnya dan gagal. Masalahnya adalah dalam menghadapi pasukan yang didukung UEA di Libya, atau menegakkan hak-hak Palestina di Yerusalem, atau membom Partai Pekerja Kurdistan di Irak, atau menargetkan pasukan Presiden Bashar al-Assad di Suriah, Erdogan mendapat dukungan penuh dari tentara Turki dan semua partai politik utama Turki.
Mengapa Turki dikonfrontasi sekarang?
Erdogan, sebagai presiden mampu menciptakan Turki menjadi negara merdeka yang angkatan bersenjatanya mampu menghadapi pasukan Rusia di Suriah dan Libya, tetapi masih mau berunding dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, menurut Hearst.
Ekonomi Turki seukuran dengan ekonomi Arab Saudi, dan militernya mandiri. Turki mulai memproduksi drone berteknologi tinggi ketika ‘Israel’ dan AS menolak untuk memasoknya. Yang dilupakan hari ini adalah pesawat ‘Israel’ pernah dilatih di lapangan udara Turki karena kekurangan wilayah udara di negaranya, menurut sumber-sumber Turki.
Ketika menemukan gas di Laut Hitam, perusahaan Turki memiliki teknologi untuk mengembangkan ladang dan memasok pasar domestik – tidak seperti Mesir, yang mengandalkan perusahaan Inggris, Italia, dan AS berarti memperoleh sebagian kecil dari keuntungan dari ladang gasnya, Hearst berargumen. [Hidayatullah]