Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pernah dilakukan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lebih efektif dibandingkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro saat ini.
Pandu menyebut efektivitas tersebut terbukti dengan adanya penurunan angka pertambahan kasus positif Covid setelah diberlakukannya PSBB.
"Terbukti, setiap dilakukan pengetatan dua minggu kemudian akan turun. Begitu dilonggarkan, diketatkan lagi turun lagi," ucap Pandu kepada CNNIndonesia.com, Selasa (22/6).
Pandu juga menjelaskan secara hukum, PSBB juga lebih jelas dibandingkan dengan PPKM. Ia menyebut PSBB memberi keleluasaan bagi setiap kepala daerah untuk menerapkan penanganan pandemi dengan menyesuaikan persoalan di wilayahnya masing-masing.
"PPKM itu tidak punya dasar hukum. Dasar hukumnya hanya surat putusan bersama beberapa menteri," ucap Pandu.
PSBB diatur melalui UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pandu mengatakan dari landasan peraturan tersebut keluar peraturan-peraturan turunan.
Pada 31 Maret 2020, pemerintah menetapkan aturan lebih lanjut terkait PSBB melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020.
Dalam aturan tersebut dikatakan gubernur/bupati/walikota mengusulkan pelaksanaan PSBB di wilayahnya kepada menteri kesehatan. Jika disetujui, maka PSBB dapat diterapkan.
Pelaksanaan PSBB juga bisa ditetapkan langsung oleh menteri kesehatan atas pertimbangan atau usul dari ketua pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (sekarang Satgas Penanganan Covid-19).
Anies kemudian menerapkan PSBB pertama kali pada 10 April setelah sebulan sejak dua kasus Covid-19 pertama ditemukan awal Maret.
Penerapan PSBB pertama itu berakhir pada 23 April 2020. Anies kemudian memperpanjang penerapan PSBB sebanyak dua kali yakni pada 24 April-22 Mei 2020 dan 24 Mei-4 Juni 2020.
Pada 14 September 2014, Anies menerapkan PSBB total menyusul lonjakan kasus yang terjadi di DKI Jakarta.
Pandu menilai keberadaan landasan hukum itu menjadi penting sebab berpengaruh pada implementasinya, terutama masalah anggaran.
"Dengan demikian karena hukumnya kuat juga alokasi pendanaan dan sebagainya bisa disalurkan karena menunjang ada aturan hukumnya bukan untuk kegiatan kegiatan yang tidak ada dasar hukumnya. Dan bisa dimonitoring, bisa dievaluasi dan sebagainya," jelas Pandu.
Selain itu, Pandu juga menilai pelaksanaan PSBB bersifat lebih ketat karena terdapat beberapa kegiatan yang dibatasi.
Pembatasan tersebut meliputi, peliburan sekolah dan tempat kerja, menghentikan kegiatan keagamaan di rumah ibadah, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial budaya, hingga pembatasan moda transportasi.
Sementara dalam pengetatan PPKM mikro, pemerintah menerapkan sejumlah aturan yakni WFH 75 persen dan 25 persen bekerja dari kantor untuk wilayah zona merah.
Diketahui, saat ini pemerintah memutuskan untuk memperpanjang penerapan PPKM skala mikro dengan sejumlah penguatan, mulai 22 Juni hingga 5 Juli 2021.
Namun, di tengah lonjakan kasus Covid-19 itu, sejumlah pihak menyerukan agar pemerintah kembali menerapkan PSBB demi mencegah penyebaran virus corona (Covid-19) yang semakin masif. Bahkan, beberapa pihak menyarankan pemerintah menerapkan lockdown regional. (cnnindonesia.com)