• Jelajahi

    Copyright © Jakarta Report
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Naikkan Iuran BPJS, Pakar Hukum: 'Presiden lakukan Disobedience of Law'

    19 Mei 2020, 01:06 WIB Last Updated 2020-05-18T18:10:33Z
    Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai, langkah Presiden Joko Widodo kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan bertentangan dengan putusan MA. 

    Tindakan itu, kata Feri, dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law. 


    "Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab, itu sama saja dengan menentang putusan peradilan," kata Feri. Menurut Feri, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden. 

    Hal itu tertuang dalam Undang-Undang tentang MA dan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Feri mengatakan bahwa putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 itu pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan. 

    Oleh karenanya, sekalipun kenaikan iuran BPJS yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 nominalnya sedikit berbeda dengan kenaikan sebelumnya, langkah Presiden menaikkan iuran BPJS tetap tidak dapat dibenarkan. 

    "Seberapa pun jumlah (kenaikan iuran)-nya, maka tidak benar kenaikan (iuran) BPJS," ujar Feri.

    Justru, Feri menilai, Jokowi sengaja membuat nominal kenaikan sedikit berbeda dari perpres sebelumnya sebagai dalih agar perpres ini tidak dinilai bertentangan dengan putusan MA. 

    Padahal, hal itu merupakan upaya penyelundupan hukum. "Mungkin di sana upaya main hukumnya. Dengan demikian, Presiden bisa beralasan bahwa perpres ini tidak bertentangan dengan putusan MA," kata Feri.

    Kehilangan nalar 

    BPJS Watch menilai, aturan terbaru terkait kenaikan iuran ini masih memberatkan masyarakat. Sebab, iuran peserta mandiri kelas I dan II dianggap tidak jauh berbeda dari aturan sebelumnya. 

    "Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat," ujar Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar. 

    Ia menilai bahwa kebijakan menaikkan iuran BPJS saat pandemi Covid-19 berlangsung memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mempunyai kepekaan sosial. Padahal, menurut dia, peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak oleh Covid-19. 

    "Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri. Di tengah pandemi dan resesi ekonomi saat ini, putusan MA hanya berlaku tiga bulan, yaitu April, Mei, dan Juni 2020," kata Timboel.

    Anggota Komisi XI DPR Saleh Daulay juga menilai, pemerintah tidak memiliki empati kepada masyarakat dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19 ini. "Masyarakat di mana-mana lagi kesulitan. 

    Dipastikan banyak yang tidak sanggup untuk membayar iuran tersebut," ucap dia.  Saleh justru merasa khawatir karena banyak masyarakat tidak bisa membayar iuran BPJS Kesehatan sehingga akses layanan kesehatan menjadi terhambat. 

    Akan digugat  

    Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) berencana kembali mengajukan gugatan uji materi terhadap aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. "KPCDI berencana kembali mengajukan uji materi ke MA kembali atas perpres tersebut. 

    Saat ini sedang berdiskusi dengan tim pengacara dan menyusun uji materi tersebut," ujar Sekjen KPCDI Petrus Hariyanto. KPCDI adalah organisasi yang sebelumnya menggugat Perpres 75/2019 hingga akhirnya dibatalkan oleh MA. 

    Menurut Petrus, walau ada perubahan jumlah angka kenaikan dalam Perpres Nomor 64, hal itu dirasakan masih memberatkan masyarakat. "Terlebih saat ini masih dalam situasi krisis wabah Covid-19. KPCDI melihat hal itu sebagai bentuk pemerintah mengakali keputusan MA," kata Petrus.

    Pihaknya menilai pemerintah seharusnya tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan. "Walau perpres tersebut masih memberikan subsidi bagi kelas III, tetapi per Januari 2021 iuran akan naik menjadi Rp 35.000," ujar Petrus. (kompas.com)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini