Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eisha M Rachbini, memperkirakan serangan militer Rusia terhadap Ukraina setidaknya bakal memberikan tiga dampak bagi perekonomian dunia. Dampak pertama, pertumbuhan ekonomi global akan terancam lebih rendah ketimbang prediksi semula lantaran kenaikan harga komoditas.
“Jika konflik berkepanjangan, akan berdampak terhadap global supply chain. Supply chain saat ini telah mengalami hambatan logistik akibat Covid-19 yang memicu kenaikan harga komoditas,” ujar Eisha saat diskusi di Space Twitter seperti dalam rangkuman yang dikutip pada Minggu, 27 Februari 2022.
Pertumbuhan ekonomi global pada 2022 diprediksi mencapai 4,4 persen dan pada 2023 sebesar 3,8 persen. Pertumbuhan di negara maju diramalkan berkisar 3,9 persen pada 2022 dan 2,6 persen pada 2023. Sementara itu di negara berkembang, pertumbuhan ekonomi akan mencapai 4,8 persen pada tahun ini.
Eisha melihat kenaikan harga komoditas akan mengganggu laju pertumbuhan ekonomi. Harga komoditas yang terimbas konflik geopolitik ini utamanya adalah minyak bumi dan hasil olahan industri pertambangan. Selama ini, Rusia dikenal sebagai produsen terbesar untuk minyak bumi, nikel, alumunium, dan palladium.
“Risiko perang akan dapat berdampak pada kenaikan harga minyak bumi yang diperkirakan meningkat mencapai lebih dari US$ 100 per barrel untuk acuan,” katanya. Kenaikan harga acuan minyak dunia mendorong harga bahan bakar minyak (BBM) di Amerika dan Eropa melejit sampai 30 persen.
Dampak kedua, distribusi bahan baku pangan seperti gandum ke seluruh dunia terhambat. Musababnya, Rusia dan Ukraina merupakan eksporter utama gandum. Tak hanya gandum, produksi pupuk pun akan terpengaruh lantaran Rusia adalah negara produsen kalium karbonat atau potash.
Apabila suplai terhadap berbagai komoditas dan lalu-lintas logistik pengiriman tersendat, Eisha mengatakan negara maju bisa memberikan sanksi pelarangan terhadap komoditas Rusia. “Hal itu pasti akan memperburuk harga komoditas,” katanya.
Ketiga, perang antara Rusia dan Ukraina akan mengganggu pasar finansial. Amerika, kata dia, telah memberikan sanksi keuangan kepada perusahaan teknologi Rusia. Sanksi ekonomi ini akan berimbas pada skenario The Fed dalam menaikkan tingkat suku bunga.
Dari ketiga dampak tersebut, Indonesia akan turut menerima imbas. Indonesia sebagai negara berkembang akan menghadapi ancaman nilai tukar, fluktuasi indeks harga saham gabungan atau IHSG, dan peningkatan inflasi akibat adanya syok dari pasar komoditas.
“Ini berdampak ke depresiasi nilai tukar rupiah, potensi capital outflow, dan balance of payment (BoP). Di pasar keuangan, juga dapat terdampak pada penyaluran kredit dan kinerja korporasi,” katanya. (Tempo)