• Jelajahi

    Copyright © Jakarta Report
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Presiden Jokowi Gila Kerja, Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2020 Diprediksi Dibawah 5 %

    16 Februari 2020, 16:42 WIB Last Updated 2020-02-16T09:42:30Z
    Sebagaimana dilansir Kompas.com berikut ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) Erick Thohir mengatakan, ritme kerja di kabinet Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin sangat tinggi. Selama empat bulan menjadi menteri, dirinya mengaku sudah puluhan kali dipanggil Jokowi untuk melakukan rapat terbatas (ratas). 

    “Mohon maaf harusnya jadwalnya pagi, tapi karena presidennya ini gila kerja jadi saya ratas dulu,” ujar Erick saat memberi sambutan di acara BUMN Membangun Talenta Muda di Indonesia, Rabu (12/2/2020). 

    Dalam acara ini seharusnya Erick dijadwalkan memberi sambutan pada pukul 08.00 WIB. Namun, karena ada ratas, Erick baru bisa hadir pada siang harinya. Menurut Erick, Presiden Jokowi menggelar rapat untuk membahas bagaimana cara memajukan perekonomian Indonesia. “Saya sudah ratas mungkin 30 kali, tak sembarang ratas, saya ikut ratas untuk percepatan investasi dan persaingan industri baja. Kebetulan setiap ratas harus datang, kan nasib,” kata Erick. 

    Berikut Link Beritanya :

    https://money.kompas.com/read/2020/02/12/151013826/erick-thohir-presiden-jokowi-gila-kerja?page=all

    ****

    Sementara itu, Koran-Jakarta.com melansir sebagai berikut, pertumbuhan ekonomi Indone­sia pada 2020 diprediksi di bawah lima persen atau hanya 4,8 persen, lebih rendah dari pro­yeksi pemerintah sebesar 5,3 persen. Hal itu disebabkan sejumlah tantangan dari internal maupun eksternal.

    Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya, mengemukakan tantangan internal terutama persoalan defisit neraca transaksi berjalan, pe­nurunan laju ekspor dan investasi serta pering­kat kemudahan berusaha yang stagnan.

    “Rencana kenaikan barang dan jasa yang harganya ditentukan pemerintah juga men­jadi tantangan utama dalam menjaga daya beli masyarakat. Sebab, 56 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini didorong oleh kinerja konsumsi rumah tangga,” papar dia, di Jakarta, Selasa (26/11).

    Sedangkan tantangan eksternal, lanjut Ber­ly, ditandai dengan penurunan pertumbuhan ekonomi bahkan menuju resesi global. Kemu­dian, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang masih berkelanjutan dan minim kepastian. Gejolak itu menyusut­kan pertumbuhan dan perdagangan dunia.

    “Permintaan ekspor melambat terutama komoditas yang diikuti penurunan investasi langsung. Hubungan dagang Jepang dan Korea Selatan yang memanas juga mempengaruhi prospek ekonomi di kawasan Asia,” jelas Berly.

    Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, me­nambahkan sejumlah lembaga internasional mayoritas memprediksi penurunan pertum­buhan ekonomi global. “Beberapa lembaga yang biasanya optimistis hampir semua sepakat per­tumbuhan 2020 di bawah tiga persen,” ujar dia.

    Tauhid juga menyatakan perang dagang AS-Tiongkok menyebabkan merosotnya per­tumbuhan ekonomi negara mitra dagang In­donesia tahun depan. “Pertumbuhan Tiongkok di bawah 6 persen, AS di bawah 2 persen, dan Jepang di bawah 1 persen,” papar dia.

    Akibatnya, lanjut dia, permintaan barang asal Indonesia ke negara-negara tersebut akan berkurang. “Otomatis sumbangan perdagangan Indonesia dalam pertumbuhan ekonomi akan turun,” kata Tauhid.

    Selain itu, dia juga mengungkapkan sektor investasi kurang berperan pada pertumbuhan ekonomi, karena investasi yang masuk lebih banyak ke sektor tersier yang relatif rendah da­lam penciptaan lapangan kerja.

    “Pertumbuhan investasi hanya mencipta­kan sekitar 230 ribu–240 ribu tenaga kerja baru. Padahal, kebutuhan normal sekitar 400 ribu– 500 ribu, jadi kami yakin itu menyebabkan per­tumbuhan turun,” tegas Tauhid.

    Sebelumnya, sejumlah kalangan meng­ingatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan susah beranjak dari level lima persen, apabila pemerintah tetap selalu bergantung pada utang, tanpa ada kebijakan ekonomi yang signifikan atau luar biasa.

    Bahkan, sejumlah lembaga keuangan inter­nasional memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini di bawah lima persen. JP Morgan Chase dikabarkan memprediksi ekonomi Indo­nesia tumbuh 4,9 persen di tahun ini, sedang­kan Deutsche Bank memperkirakan di angka 4,8 persen.

    Sesuai Target

    Sementara itu, pemerintah optimistis per­tumbuhan ekonomi akan sesuai dengan tar­get APBN 2020 sebesar 5,3 persen. Bahkan, diproyeksi melebihi angka itu setelah program Omnibus Law rampung, yang diharapkan akan memudahkan investasi.

    “Investasi akan meningkat dengan adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Un­dang-Undang Perpajakan,” kata Deputi bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Ke­menterian Koordinator bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, Selasa.

    Selain itu, optimisme pemerintah juga di­landasi oleh perkiraan bahwa konflik dagang antara AS dan Tiongkok mereda. Dengan kon­disi itu, Iskandar yakin permintaan global akan kembali menguat sehingga mendorong kinerja ekspor Indonesia.

    Indikator lainnya, lanjut dia, hingga Oktober 2019 terdapat 45 investor yang disetujui un­tuk mendapatkan fasilitas pembebasan pajak atau tax holiday dengan nilai rencana inves­tasi mencapai 525 triliun rupiah. Jadi, program pembebasan pajak tersebut akan mendong­krak pertumbuhan ekonomi Indonesia.

    “Kalau (pertumbuhan ekonomi) 4,8 per­sen itu kita sudah resesi. Dengan pengalaman masa lalu, bahkan tahun 2008–2009 kita bisa tumbuh 4,88 persen. Padahal parah waktu itu, apalagi sekarang tidak ada tanda konsumsi me­lemah,” tukas Iskandar. [koran-jakarta]
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini