Sebagaimana dilansir Kompas.com berikut ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara ( BUMN) Erick Thohir mengatakan, ritme kerja di kabinet Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin sangat tinggi. Selama empat bulan menjadi menteri, dirinya mengaku sudah puluhan kali dipanggil Jokowi untuk melakukan rapat terbatas (ratas).
“Mohon maaf harusnya jadwalnya pagi, tapi karena presidennya ini gila kerja jadi saya ratas dulu,” ujar Erick saat memberi sambutan di acara BUMN Membangun Talenta Muda di Indonesia, Rabu (12/2/2020).
Dalam acara ini seharusnya Erick dijadwalkan memberi sambutan pada pukul 08.00 WIB. Namun, karena ada ratas, Erick baru bisa hadir pada siang harinya. Menurut Erick, Presiden Jokowi menggelar rapat untuk membahas bagaimana cara memajukan perekonomian Indonesia. “Saya sudah ratas mungkin 30 kali, tak sembarang ratas, saya ikut ratas untuk percepatan investasi dan persaingan industri baja. Kebetulan setiap ratas harus datang, kan nasib,” kata Erick.
Berikut Link Beritanya :
https://money.kompas.com/read/2020/02/12/151013826/erick-thohir-presiden-jokowi-gila-kerja?page=all
****
Sementara itu, Koran-Jakarta.com melansir sebagai berikut, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 diprediksi di bawah lima persen atau hanya 4,8 persen, lebih rendah dari proyeksi pemerintah sebesar 5,3 persen. Hal itu disebabkan sejumlah tantangan dari internal maupun eksternal.
Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya, mengemukakan tantangan internal terutama persoalan defisit neraca transaksi berjalan, penurunan laju ekspor dan investasi serta peringkat kemudahan berusaha yang stagnan.
“Rencana kenaikan barang dan jasa yang harganya ditentukan pemerintah juga menjadi tantangan utama dalam menjaga daya beli masyarakat. Sebab, 56 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini didorong oleh kinerja konsumsi rumah tangga,” papar dia, di Jakarta, Selasa (26/11).
Sedangkan tantangan eksternal, lanjut Berly, ditandai dengan penurunan pertumbuhan ekonomi bahkan menuju resesi global. Kemudian, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang masih berkelanjutan dan minim kepastian. Gejolak itu menyusutkan pertumbuhan dan perdagangan dunia.
“Permintaan ekspor melambat terutama komoditas yang diikuti penurunan investasi langsung. Hubungan dagang Jepang dan Korea Selatan yang memanas juga mempengaruhi prospek ekonomi di kawasan Asia,” jelas Berly.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menambahkan sejumlah lembaga internasional mayoritas memprediksi penurunan pertumbuhan ekonomi global. “Beberapa lembaga yang biasanya optimistis hampir semua sepakat pertumbuhan 2020 di bawah tiga persen,” ujar dia.
Tauhid juga menyatakan perang dagang AS-Tiongkok menyebabkan merosotnya pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang Indonesia tahun depan. “Pertumbuhan Tiongkok di bawah 6 persen, AS di bawah 2 persen, dan Jepang di bawah 1 persen,” papar dia.
Akibatnya, lanjut dia, permintaan barang asal Indonesia ke negara-negara tersebut akan berkurang. “Otomatis sumbangan perdagangan Indonesia dalam pertumbuhan ekonomi akan turun,” kata Tauhid.
Selain itu, dia juga mengungkapkan sektor investasi kurang berperan pada pertumbuhan ekonomi, karena investasi yang masuk lebih banyak ke sektor tersier yang relatif rendah dalam penciptaan lapangan kerja.
“Pertumbuhan investasi hanya menciptakan sekitar 230 ribu–240 ribu tenaga kerja baru. Padahal, kebutuhan normal sekitar 400 ribu– 500 ribu, jadi kami yakin itu menyebabkan pertumbuhan turun,” tegas Tauhid.
Sebelumnya, sejumlah kalangan mengingatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan susah beranjak dari level lima persen, apabila pemerintah tetap selalu bergantung pada utang, tanpa ada kebijakan ekonomi yang signifikan atau luar biasa.
Bahkan, sejumlah lembaga keuangan internasional memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini di bawah lima persen. JP Morgan Chase dikabarkan memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh 4,9 persen di tahun ini, sedangkan Deutsche Bank memperkirakan di angka 4,8 persen.
Sesuai Target
Sementara itu, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi akan sesuai dengan target APBN 2020 sebesar 5,3 persen. Bahkan, diproyeksi melebihi angka itu setelah program Omnibus Law rampung, yang diharapkan akan memudahkan investasi.
“Investasi akan meningkat dengan adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Undang-Undang Perpajakan,” kata Deputi bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, Selasa.
Selain itu, optimisme pemerintah juga dilandasi oleh perkiraan bahwa konflik dagang antara AS dan Tiongkok mereda. Dengan kondisi itu, Iskandar yakin permintaan global akan kembali menguat sehingga mendorong kinerja ekspor Indonesia.
Indikator lainnya, lanjut dia, hingga Oktober 2019 terdapat 45 investor yang disetujui untuk mendapatkan fasilitas pembebasan pajak atau tax holiday dengan nilai rencana investasi mencapai 525 triliun rupiah. Jadi, program pembebasan pajak tersebut akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Kalau (pertumbuhan ekonomi) 4,8 persen itu kita sudah resesi. Dengan pengalaman masa lalu, bahkan tahun 2008–2009 kita bisa tumbuh 4,88 persen. Padahal parah waktu itu, apalagi sekarang tidak ada tanda konsumsi melemah,” tukas Iskandar. [koran-jakarta]
“Mohon maaf harusnya jadwalnya pagi, tapi karena presidennya ini gila kerja jadi saya ratas dulu,” ujar Erick saat memberi sambutan di acara BUMN Membangun Talenta Muda di Indonesia, Rabu (12/2/2020).
Dalam acara ini seharusnya Erick dijadwalkan memberi sambutan pada pukul 08.00 WIB. Namun, karena ada ratas, Erick baru bisa hadir pada siang harinya. Menurut Erick, Presiden Jokowi menggelar rapat untuk membahas bagaimana cara memajukan perekonomian Indonesia. “Saya sudah ratas mungkin 30 kali, tak sembarang ratas, saya ikut ratas untuk percepatan investasi dan persaingan industri baja. Kebetulan setiap ratas harus datang, kan nasib,” kata Erick.
Berikut Link Beritanya :
https://money.kompas.com/read/2020/02/12/151013826/erick-thohir-presiden-jokowi-gila-kerja?page=all
****
Sementara itu, Koran-Jakarta.com melansir sebagai berikut, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 diprediksi di bawah lima persen atau hanya 4,8 persen, lebih rendah dari proyeksi pemerintah sebesar 5,3 persen. Hal itu disebabkan sejumlah tantangan dari internal maupun eksternal.
Direktur Riset Indef, Berly Martawardaya, mengemukakan tantangan internal terutama persoalan defisit neraca transaksi berjalan, penurunan laju ekspor dan investasi serta peringkat kemudahan berusaha yang stagnan.
“Rencana kenaikan barang dan jasa yang harganya ditentukan pemerintah juga menjadi tantangan utama dalam menjaga daya beli masyarakat. Sebab, 56 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini didorong oleh kinerja konsumsi rumah tangga,” papar dia, di Jakarta, Selasa (26/11).
Sedangkan tantangan eksternal, lanjut Berly, ditandai dengan penurunan pertumbuhan ekonomi bahkan menuju resesi global. Kemudian, perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang masih berkelanjutan dan minim kepastian. Gejolak itu menyusutkan pertumbuhan dan perdagangan dunia.
“Permintaan ekspor melambat terutama komoditas yang diikuti penurunan investasi langsung. Hubungan dagang Jepang dan Korea Selatan yang memanas juga mempengaruhi prospek ekonomi di kawasan Asia,” jelas Berly.
Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad, menambahkan sejumlah lembaga internasional mayoritas memprediksi penurunan pertumbuhan ekonomi global. “Beberapa lembaga yang biasanya optimistis hampir semua sepakat pertumbuhan 2020 di bawah tiga persen,” ujar dia.
Tauhid juga menyatakan perang dagang AS-Tiongkok menyebabkan merosotnya pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang Indonesia tahun depan. “Pertumbuhan Tiongkok di bawah 6 persen, AS di bawah 2 persen, dan Jepang di bawah 1 persen,” papar dia.
Akibatnya, lanjut dia, permintaan barang asal Indonesia ke negara-negara tersebut akan berkurang. “Otomatis sumbangan perdagangan Indonesia dalam pertumbuhan ekonomi akan turun,” kata Tauhid.
Selain itu, dia juga mengungkapkan sektor investasi kurang berperan pada pertumbuhan ekonomi, karena investasi yang masuk lebih banyak ke sektor tersier yang relatif rendah dalam penciptaan lapangan kerja.
“Pertumbuhan investasi hanya menciptakan sekitar 230 ribu–240 ribu tenaga kerja baru. Padahal, kebutuhan normal sekitar 400 ribu– 500 ribu, jadi kami yakin itu menyebabkan pertumbuhan turun,” tegas Tauhid.
Sebelumnya, sejumlah kalangan mengingatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan susah beranjak dari level lima persen, apabila pemerintah tetap selalu bergantung pada utang, tanpa ada kebijakan ekonomi yang signifikan atau luar biasa.
Bahkan, sejumlah lembaga keuangan internasional memprediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini di bawah lima persen. JP Morgan Chase dikabarkan memprediksi ekonomi Indonesia tumbuh 4,9 persen di tahun ini, sedangkan Deutsche Bank memperkirakan di angka 4,8 persen.
Sesuai Target
Sementara itu, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi akan sesuai dengan target APBN 2020 sebesar 5,3 persen. Bahkan, diproyeksi melebihi angka itu setelah program Omnibus Law rampung, yang diharapkan akan memudahkan investasi.
“Investasi akan meningkat dengan adanya Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan Undang-Undang Perpajakan,” kata Deputi bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, Selasa.
Selain itu, optimisme pemerintah juga dilandasi oleh perkiraan bahwa konflik dagang antara AS dan Tiongkok mereda. Dengan kondisi itu, Iskandar yakin permintaan global akan kembali menguat sehingga mendorong kinerja ekspor Indonesia.
Indikator lainnya, lanjut dia, hingga Oktober 2019 terdapat 45 investor yang disetujui untuk mendapatkan fasilitas pembebasan pajak atau tax holiday dengan nilai rencana investasi mencapai 525 triliun rupiah. Jadi, program pembebasan pajak tersebut akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
“Kalau (pertumbuhan ekonomi) 4,8 persen itu kita sudah resesi. Dengan pengalaman masa lalu, bahkan tahun 2008–2009 kita bisa tumbuh 4,88 persen. Padahal parah waktu itu, apalagi sekarang tidak ada tanda konsumsi melemah,” tukas Iskandar. [koran-jakarta]